Jumat, 12 Februari 2016

Unknown

Surat Al Maidah Ayat 3 yang Dijadikan Dalil oleh Kaum Tanpa Madzhab untuk Membid'ahkan Perkara Baru

Surat Al Maidah Ayat 3 yang Dijadikan Dalil oleh Kaum Tanpa Madzhab untuk Membid'ahkan Perkara Baru

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Semua hal yg baik telah diperintahkan oleh Allah swt, dan semua hal yg buruk sudah dilarang oleh Allah swt.
Berkata Imam Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum walhikam bahwa kumpulan seluruh kalimat yg dikhususkan pada nabi saw ada dua macam: 
Pertama adalah Alqur’an sebagaimana firman Nya SWT : “Sungguh Allah telah memerintahkan berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dg kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” (QS Annahl 90).  berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikanpun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya.
Kedua adalah hadits beliau saw yg tersebar dalam semua riwayat yg teriwayatkan dari beliau SAW. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 5 hal 135)
Jelas sudah semua hal yg baik telah diperintah oleh Allah, semua hal yg buruk sudah dilarang oleh Allah swt, apakah sudah ada dimasa nabi saw atau belum ada dimasa Nabi saw.
Berbeda dg hal hal yg fardhu, maka hal itu tidak bisa ditambahkan karena merupakan hal yg baku, penambahan fardhu shalat bukan hal yg baik, karena jika itu baik sudah dicontohkan oleh Rasul saw.
Sebagaimana kalangan baru masa kini memberlakukan zakat profesi, dibayar setiap bulannya tanpa nishab dan haul, hal itu adalah Bid’ah munkarah dhalalah, karena zakat telah jelas dimasa Nabi saw, tidak bisa diubah atau ditambah, kita bisa menerima jika dinamakan Sedekah profesi, maka hal itu boleh saja, namun ZAKAT, tidak bisa ditambah dan diubah dg alasan apapun.

Simak video Buya Yahya tentang Bid'ah:


Sebagaimana saya jelaskan dalam buku akidah tsb :
BID’AH
1. Nabi SAW memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda Beliau SAW : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim haditsno.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid;ah dhalalah.
Perhatikan hadits Beliau SAW, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi SAW yg tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman,
Inilah makna Surat Al Maidah ayat 3 : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam,
bila yg dikatakan bahwa ayat ini bermakna sudah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yg baik boleh boleh saja.
namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yg bertentangan dg syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yg sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits Beliau SAW  : “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan…dst”, inilah yg disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yg baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dg hal yg ada dizaman kehidupan Beliau SAW saja, dan  telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk (Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
2. Siapakah yg pertama memulai Bid’ah Hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari haditsno.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar”, hatinya jernih menerima hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.
Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh Beliau SAW menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka Beliau SAW bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dg geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yg baru, sungguh semua yg Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dg persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dg nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari haditsno.873).
Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?
3. Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yg menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yg merupakan Bid’ah dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.
Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut.
Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yg telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dg jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).
Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah RA :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah SAW??, maka Abubakar RA mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abubakar RA) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih menerima hal hal baru yg baik adalah hati yg sehati dg Abubakar Shiddiq RA, hati Umar bin Khattab RA, hati Zeyd bin Haritsah RA, hati para sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah SWT,
Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dg mereka, belum setuju dg pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul SAW sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dg geraham yg maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dg Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafi'i bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab RA (dalam SHahih Bukhari) mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi SAW yg berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dg Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram.
Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Walillahittaufiq
b. semua dalil diatas shahih, bahkan ayat Alqur’an telah memperjelasnya sebagaimana saya tuliskan diatas.
c dan d. telah terjawab diatas. sebagaimana juga narkotika yg tidak pernah ada dimasa Nabi saw, lalu apakah ia halal..?
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
Lampiran qs almaidah ayat 3 :

           حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
    

[5:3] Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 Habib Munzir Lihat di web

Artikel yang terkait Bid'ah : Alkhoirot Net
                                           Rosulullah Tidak Mengatakan Semua Bid'ah Sesat
                                                Analisa Kullu Dalam Hadis Bid’ah

                                       

=========================================================================
Artikel Pendukung:

Sebenarnya pembahasan seputar khol, tahlilan atau selametan bagi saya sudah basi, ibarat nasi sudah sampai setahun. Tapi karena beberapa permintaan ikhwan agar saya menanggapi episode kebongongan public yang dilakukan oleh Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi berkenaan persoalan perayaan khol dan selametan, maka saya sedikit akan memberikan penjelasan pada dalil-dalil yang dibuat bantahan Abu Ubaidah untuk menyalahkan perayaan khol atau selametan.
Abu Ubaidah mengutarakan beberapa dalil untuk menyalahkan khoul, maulid atau selametan yang berputar pada persoalan perkara baru.
Pertama ; Ia menampilkan surat al-Maidah [5] ayat ke 3 yang berbunyi :
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)
Dengan ayat tersebut, Abu Ubaidah berasumsi bahwa perayaan khaul, selametan atau tahlilan yang dilakukan mayoritas umat muslim merupakan penambahan dalam syare’at Islam.
Jawaban saya :
Menggunakan dalil ayat tersebut sebagai larangan perayaan khaul atau bid’ah-bi’dah hasanah lainnya, adalah sebuah kedangkalan cara berpikir atau usaha ingin menutupi kebenaran dari kaum muslimin yang awam dan sangat terkesan sebagai Ayat Yang Diperkosa Kaum Tanpa Madzhab.
Ayat di atas bukan sedang membicarakan sempurnya atau paripurnanya hukum-hukum syare’at secara muthlaq, terbukti setelah ayat itu, masih ada ayat lainnya lagi yang turun tentang hukum seperti ayat tentang hukum riba.
- Jika ayat itu menjelaskan sempurnanya hukum syare’at Islam secara muthlaq, berarti syare’at sebelum ayat ini turun yaitu masa-masa Nabi Saw adalah kurang dan tidak sempurna, barulah sempurna setelah ayat ini turun ?? Justru merekalah yang berasumsi demikian telah menuduh Rasul Saw menjalankan perintah dan syare’at Islam tidak sempurna.
- Jika hukum Islam telah paripurna, kenapa juga ada Lajnah Buhutsid diniyyah, atau komisi fatwa ulama Saudi seperti Ibnu Baz, utsaimin dan fauzan ??
- Kenapa juga jika telah sempurna, Nabi Saw tidak mengatakan adanya pembagian bid’ah lughawi dan istilahi, bid’ah haqiqi dan majazi, bid’ah agama dan dunia ??
- Jika telah sempurna, kenapa juga Nabi Saw tidak menegaskan adanya tauhid Rububiyyah dan ilahiyyah secara tersurat dan gamblang ??
Maka sungguh para ulama kita khususnya ulama ahli tafsir telah mengetahui makna ayat tersebut dan menjelaskan maksudnya pada kita. Berikut penjelasannya :
Imam Qoffal telah menjelaskan maksud ayat tersebut dalam kitab Tafsir Al-Kabir karya Imam Fakruddin Ar-Razi :
أن الدين ما كان ناقصا البتة ، بل كان أبدا كاملا ، يعني كانت الشرائع النازلة من عند الله في كل وقت كافية في ذلك الوقت ، إلا أنه تعالى كان عالما في أول وقت المبعث بأن ما هو كامل في هذا اليوم ليس بكامل في الغد ولا صلاح فيه ، فلا جرم كان ينسخ بعد الثبوت وكان يزيد بعد العدم ، وأما في آخر زمان المبعث فأنزل الله شريعة كاملة وحكم ببقائها إلى يوم القيامة ، فالشرع أبدا كان كاملا ، إلا أن الأول كمال إلى زمان مخصوص ، والثاني كمال إلى يوم القيامة فلأجل هذا المعنى قال : اليوم أكملت لكم دينكم
“ Agama ini sungguh tidaklah kurang, bahkan selamanya dalam keadaan Sempurna, artinya Syaria’t yg di turunkan oleh Allah di setiap waktu telah mencukupi kebutuhan pada waktu itu juga, hanya saja Allah yg Maha Tahu tentu tahu juga pada saat pertama kali Syari’at itu di turunkan pasti bersesusaian dengan kebutuhan pada saat itu yg tidak akan selaras dengan kebutuhan hari esok, maka tidak salah jika ada suatu penetapan hukum yg kemudian di hapus setelah di tetapkan atau di tambah setelah tidak tercantum. Adapun Pada Akhir Zaman ini Allah telah menurunkan Syari’at yg sempurna dan akan selalu eksis sampai hari Kiyamat. Syari’at yg pertama itu sempurna menurut ukuran zamannya, dan yang kedua menyempurnakan untuk segala zaman, maka sehubungan dengan hal ini ayat “Telah aku sempurnakan bagimu Agamamu” ini di turunkan “.
Masih kelanjutan syarh ayat tsb dalam kitab Tafisr Al-Kabir ini :
قال نفاة القياس : دلت الآية على أن القياس باطل ، وذلك لأن الآية دلت على أنه تعالى قد نص على الحكم في جميع الوقائع ، إذ لو بقي بعضها غير مبين الحكم لم يكن الدين كاملا ، وإذا حصل النص في جميع الوقائع فالقياس إن كان على وفق ذلك النص كان عبثا ، وإن كان على خلافه كان باطلا
“ Timbul asumsi dari kaum penolak Qiyas : “ Ayat tersebut menunjukkan bahwa hukum qiyas adalah bathil, karena ayat itu menjelaskan bahwa Allah Swt telah menetapkan hukum dalam segala kejadian. Seandainya dalam agama masih ada satu hukum saja yang tertinggal penjelasannya, maka itu menunjukkan kekurangan agama itu sendiri. Jika telah ditetapkan semua hukum dalam segala kejadian, maka jika qiyas (yang dihasilkan) itu sesuai dengan ketetapan hukum yang ada, maka qiyas tak ada artinya sama sekali . Dan jika qiyas itu bertolak belakang dengan ketetpan hukum, maka qiyas itu bathil adanya “.
Maka kemusykilan ini telah dijawab :
أجاب مثبتو القياس بأن المراد بإكمال الدين أنه تعالى بين حكم جميع الوقائع بعضها بالنص وبعضها بأن بين طريق معرفة الحكم فيها على سبيل القياس ، فإنه تعالى لما جعل الوقائع قسمين أحدهما التي نص على أحكامها ، والقسم الثاني أنواع يمكن استنباط الحكم فيها بواسطة قياسها على القسم الأول ، ثم إنه تعالى لما أمر بالقياس وتعبد المكلفين به كان ذلك في الحقيقة بيانا لكل الأحكام ، وإذا كان كذلك كان ذلك إكمالا للدين
“ Para ulama yang menetapkan hukum qiyas menjawab “ Yang dimaksud dengan telah sempurna agama, adalah bahwa Allah Swt telah menjelaskan hukum pada semua kejadian, sebagiannya dengan nash (ketetapan hukum yang sudah tersurat) dan sebagiannya lagi dengan jalan mengetahui hukum di dalamnya dengan metode qiyas. Maka Allah telah menjelaskan sebuah hukum pada suatu kejadian dengan dua cara; yang pertama dengan cara menetapkan nashnya langsung yaitu ketetapan hukum pastinya, dan yang kedua dengan cara metode yang memungkinkan bisa menarik kesimpulan dari nash tersebut. Maka ketika Allah memerintahkan dengan adanya qiyas dan mukallaf beribadah atas dasar qiyas, maka pada hakikatnya itu adalah sebuah penjelasan bagi setiap hukum, dengan demikian hal itu merupakan kesempurnaan agama. “
Maka dengan penjelasan ini runtuhlah asumsi Abu Ubaidah dan para kaum tanpa madzhab yang mengatakan tak perlu lagi bid’ah hasanah termasuk perayaan khaul dalam agama ini berdasarkan ayat tsb.
Kedua ; Abu Ubaidah menampilkan ucapan imam Malik untuk melarang bid’ah hasanah termasuk Khaul berikut :
مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ # خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Barang siapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam mengkhianati risalah, karena Alloh Ta’ala berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.’ Karena itu, apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.”
Jawaban Saya :
Sungguh memang benar ucapan imam Malik tersebut. Yang dimaksud bid’ah dalam ucapan beliau itu adalah bid’ah dholalah /sesat, atau meminjam istilah mereka adalah bid’ah lughowiyyah bukan bid’ah syar’iyyah.

Seperti contoh ; 
Pertama : melakukan sholat dengan bahasa Indonesia beralasan untuk memudahkan pemahaman makna bacaan-bacaan sholat, maka hal baru ini adalah bid’ah sesat walaupun menganggapnya baik. Atau mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melakukan sesembahan pada sebuah pohon atau menghayutkan banyak makanan ke laut, atau berkeyakinan bahwa semua perbuatan hamba majbur (terbelenggu) dengan nperbuatan Allah dan tak ada ikhtiyar, maka semua ini adalah bid’ah sesat walaupun mereka menggapnya baik, karena semuanya bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.
Kedua : Kemudian Abu Ubaidah melarang khoul dengan alasan : “Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat. Hal ini tidak mungkin karena Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam telah menyampaikan risalah Alloh dengan amanah dan sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arafah ketika haji wada’:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ : … وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي، فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ، وَأَدَّيْتَ، وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah hajinya Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam (setelah beliau berkhotbah di Arafah). Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihati.” Lalu Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, “Ya Alloh, saksikanlah, ya Alloh saksikanlah, sebanyak tiga kali
Jawaban saya :
Perhatikan argumentasi bodoh Abu Ubaidah tersebut ““Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat “.
Konsekuensi dari argumntasi itu akan menimbulkan pemahaman bahwa setiap apa yang tidak dijelaskan oleh Nabi Saw adalah bukan bagian dari agama alias suatu penambahan agama. Sungguh argumntasi Abu Ubaidah tersebut adalah suatu kesalahan fatal dan bertentangan dengan syare’at dan justru dia telah terjebak dalam bid’ah dholalah yang akan merusak sendi-sendi agama.
Simak penjelasannya berikut :
• Allah Swt berfirman :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ اَوْلَمْ يبَيّنْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan atau tidak dijelaskan oleh Rasulullah Saw, maka berhentilah (mengerjakannya).”
•Renungkan hadits Nabi Saw berikut :
ما احل الله في كتابه فهو حلال وماحرم فهو حرام وماسكت عنه فهو عافية فقبلوا من الله العافية فان الله لم يكن نسيا ثم تلا هذه الاية وماكان ربك نسيا
“ Apa yang dihalalkan Allah dalam kitabNya maka halal, apa yang diharamkan maka haram dan apa saja yang tidak dikomentarinya maka itu maaf (dispensasi). Maka terimalah dispensasi dariNya. Karena Allah Swt tidak pernah lupa, lalu beliau membaca ayat ini; Wama kaana rabbuka mansiyya “. (HR. Hakim, al-Bazzar dan ath-Thabrani)
Sanad hadits ini dinilai shahih oleh imam Hakim dan adz-Dzahabi dalam al-Mustadrak dan at-Takhshis

Lihat lebih lengkap
      

Unknown

About Unknown -

Daarul Fiqih menyediakan informasi yang benar berdasarkan Al Qur'an, Hadits, dan Qiyas serta Ijma' Ulama agar Umat Islam Selamat dari Pengaruh Kaum Tanpa Madzhab

Subscribe to this Blog via Email :
Komentar baru tidak diizinkan.