KEJANGGALAN KAUM TANPA MADZHAB DALAM BERDALIL
|
Berargumen
dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam
menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang
menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang
dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4)
sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3.
Ijma' 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan
penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau
Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan)
para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur'an dan Hadis, dan bila
juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu
perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di
dalam al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para
Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul
Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya ijma' dan qiyas (yang
mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum
suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa
wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru
di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada
satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam
al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain
(pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali
prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang
penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat.
Bayangkan,
betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala
permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam
al-Qur'an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an
bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan
perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi
Adam As. sampai hari kiamat.
Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh
Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada
ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur'an)
maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara
agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya
atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai "pendapat manusia"
yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa
atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi'I atau Imam
Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang
dalil dibandingkan diri mereka.
Di
sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Tanpa Madzhab seperti sangat
idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan
mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus
atau langsung, dan ini disebut "dalil khusus".
Namun
di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang
karena dianggap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka
tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan
dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid'ah secara
langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah itu.
Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir "dalil
umum".
Lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan
untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz
dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR.
Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat
juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr,
Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid'atin dhalalah (setiap
bid'ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan
lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan "perkara baru",
sehingga tidak sah bila kata bid'ah itu diarahkan kepada perkara-perkara
tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau
acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau
menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan
Maulid atau tahlilan.
Metodologi
pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Tanpa
Madzhab dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena
pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam
memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah
dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya
dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan
secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadis.
Terbukti, dari
ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang
dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang
kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka
tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan
selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda
bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya
Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru
dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil
pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Kaum
Tanpa Madzhab bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta'wil (penafsiran
terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak
murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat
manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti
halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam
beragama menurut mereka harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa adanya
seperti yang tersebut secara tekstual.
Di
sinilah pangkalnya, kenapa kaum Tanpa Madzhab selalu mempermasalahkan amalan
atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah
masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari
pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya,
sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang
oleh kaum Tanpa Madzhab sebagai perkara ushul (pokok/prinsip)
yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.
Padahal,
untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan
dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka
malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid'ah yang
sangat diandalkan oleh kaum Tanpa Madzhab itulah yang akan kita bahas secara
tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara
obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita
kategorikan menjadi:
1. Dalil kewajiban
mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur
Rasyidin)
2.
Dalil perintah &
larangan
3. Dalil sesatnya
setiap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam
agama)
1. DALIL KEWAJIBAN MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH SAW. DAN PARA SHAHABAT BELIAU (KHULAFA'UR RASYIDIN)
Kaum
Tanpa Madzhab sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti Sunnah
Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid'ah yang
mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut
ini:
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ
الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)
"Hendaklah
kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin)
meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang
sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku
dan sunnah para khulafa' rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat
petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan
jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya
setiap bid'ah itu kesesatan"(HR. Ibnu Majah.
Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Di
dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan:
... وَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ
مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا
عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي)
"…
dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali
satu golongan." Mereka (shahabat) bertanya, "siapakah itu ya
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu yang aku dan para shahabatku
berada di atasnya" (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).
Kaum
Tanpa Madzhab lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi
definisi bid'ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber rujukan umat
dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan atau
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama, baik
prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori bukan
"sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya" alias bid'ah dan
kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisi bid'ah yang
mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam
masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para
Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihatEnsiklopedia
Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena
tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Allah SWT memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam untuk
mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu
para tabi'in yang kemudian disebut dengan generasi salaf. Hal
ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw:
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري)
"Sebaik-baik
umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian
masa orang-orang sesudah mereka" (HR.
Bukhari)
Pada
hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa
300 H. atau masa tabi'in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw.
yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan
kaum Tanpa Madzhab menjadikan generasi salaf tersebut
sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka
merasa lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan
diri dengan "Salafi" (pengikut generasi salaf).
Tidak
ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka
tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak ada lagi
kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam urusan
agama. Permasalahannya bermula saat kaum Tanpa
Madzhab seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi
salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw.
sampai masa tabi'in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat
kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama
pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat.
Mari
kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di atas,
terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh
kaum Tanpa Madzhab, dan hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan
mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu:
1. Khulafa'ur-Rasyidin
al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering
dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar
ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin 'Affan Ra., dan Ali bin Abi
Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya
isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud, Sufyan ats-Tsauri
(ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa'
tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertian Khulafa'ur-Rasyidin memang
tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena
melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan
keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup
kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya.
Salah satunya adalah seperti yang disebutkan
oleh as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu
Majah,
قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة الإسلام
المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء الحق
وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم
"Dikatakan mereka itu
(khulafa'ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali),
dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja
yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad
(mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah
khulafa'ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran,
menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus."
2. Pengertian
kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat umum,
artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan,
perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan
para shahabat beliau, tetapi juga termasuk isyarat,
prinsip dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau
menyelesaikan masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya
sebagai acuan untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang
tidak ada format/bentuknya di masa para shahabat tersebut.
Di sinilah terdapat hikmah pada
penyebutan sunnatil-khulafa' ar-Rasyidin (sunnah/jalannya
para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi
bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan:
إذا
كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله "وسنة الخلفاء
الراشدين" ثمرة.
Jika apa yang mereka
(Khulafa'ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya
(dianggap) itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa
tsamrah (buah/faidah) pada ucapan beliau "sunnah
khulafa'ur-Rasyidin".
Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti
apa yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah
Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnah khulafa'ur-Rasyidin secara
khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan
contoh atau dalil dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka
berijtihad untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada
prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.
tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri disebut sebagai sunnah
khulafa'ur-Rasyidin atau sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang
mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di
saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah (hasil
ijtihad) para shahabat tersebut.
Otoritas terciptanya sunnah (hasil
ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat
melepas kepergian Mu'adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, "Dengan
apa engkau menetapkan hukum?" Mu'adz menjawab, "Dengan
Kitab Allah (al-Qur'an)." Rasulullah Saw. bertanya, "Bila
tidak engkau temukan (di Kitab Allah)?"Mu'adz menjawab, "Dengan
Sunnah Rasulullah." Rasulullah Saw. bertanya, "Jika
tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?" Mu'adz
menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." Maka
Rasulullah Saw. berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya."
Penyebutan suatu amalan atau ketetapan
sebagai suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah
Saw. yang berbunyi "Man sanna fil-Islam sunnatan
hasanatan…"(siapa yang menetapkan di dalam Islam suatu
sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan sunnah ini
tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau
saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanyasunnah sayyi'ah (sunnah/ketetapan/kebiasaan
yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada Rasulullah Saw. atau para
shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw. tersebut berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ
غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)
"Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di
dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka
bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa
mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang
mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah
sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun" (HR. Muslim)
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ
مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (رواه
مسلم)
"Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan
anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang
itu, karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan
(membuat/menetapkan) pembunuhan" (HR. Muslim)
Bila kaum Tanpa Madzhab menafsirkan
kata "sanna sunnatan hasanatan" di atas dengan
makna "menghidupkan sunnah yang baik" dari sunnah atau ajaran
Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena melihat asbab
wurud(latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut) yaitu berkenaan
dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat menyimpang. Sebab
kata "sanna" artinya "membuat, meletakkan,
menetapkan", dan untuk makna "menghidupkan" ada kata "ahyaa" yang
jelas disebut di dalam riwayat hadis lain.
Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih
terlihat lagi bila dihubungkan dengan ungkapan "sanna sunnatan
sayyi'atan"pada lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut
pemahaman mereka "menghidupkan sunnah yang buruk" dari
sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu kita akan bertanya, apakah
Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan keburukan yang juga
harus ditiru oleh umatnya??!
3. Bila
lingkup rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa
Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in + 300 H.),
lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk
menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang
perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berarti pengingkaran
dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya
ulama mujaddid(pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap
akhir masa satu abad (100 tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut
ini:
إِنَّ
اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ
يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk
umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama
mereka" (HR. Abu
Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud,
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi
yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ
كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan
pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang
agama mereka."
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan
legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para
ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau
saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa
yang diakui keluasan ilmunya. Artinya,
memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman
dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak
bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat
terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda
demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan
yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas
keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin,
hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan
sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi
dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid'ah menjadi
dua: Hasanah & sayyi'ah) legalitasnya tidak hanya ditunjukkan
oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw. secara umum menyebut mereka
sebagai "Pewaris Para Nabi" sebagaimana sabdanya:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ
اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي
وأبو داود وابن ماجه وأحمد وغيرهم)
"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka
hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya,
berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak" (HR.
Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang
termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label
"pewaris para nabi" itu? Nama-nama
para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti berikut
ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para nabi"
sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar
bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi'I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Abul Hasan Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'I, Imam abul-'Abbas bin
Suraij (Mujaddidabad ke-III), Imam Sahl ash-Sha'luki (mujaddid abad
ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin
ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad
ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
Dari
penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan
para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk amalan
yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah seperti:
shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka
berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan "sunnah
hasanah" (ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas
telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama.
Berinovasi
dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di
zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas
keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya
bukan karena ingin membikin-bikin syari'at baru, bukan pula untuk
menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau
ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas,
tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya
dengan dalil-dalil yang secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan
kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh
kaum Tanpa Madzhab. Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang
membuat mereka perlu melakukan inovasi itu.
Fenomena
menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau
agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjamaah,
tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya adalah gambaran
jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup umat Islam,
sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan hidayah
untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah sengaja atau
tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir kepada Allah,
bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan nasihat dari
ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini jelas ada
dalilnya di dalam agama.
Luar
biasanya, para ulama yang tawadhu' itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan
tersebut sebagai bid'ah hasanah, padahal Rasulullah Saw.
jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah
hasanah. Mengapa demikian?
Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam
pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah ditetapkan
definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai
peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat;
sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai
hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian
hadis di atas) sunnah sebagai ketetapan atau jalan yang
menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru orang
lain.
|
2. DALIL PERINTAH
& LARANGAN
Bagi
kaum Tanpa Madzhab, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua
kategori, yaitu:
1. Yang
diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada
perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur'an maupun dari Rasulullah
Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para
Shahabat beliau.
2. Yang
dilarang, yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah
maupun dari Rasulullah Saw.
Dalil
yang mereka kemukakan di antaranya adalah:
" … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya,
ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai' (harta
rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran
asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai')
kepadamu maka terimalah dia" (lihatTafsir Jalalain). Tetapi
para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan
"apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul
…" berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa
yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat
hadis yang mendukung makna tersebut.
Yang
harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum,
artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga
untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti
membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.
Dalil
lain yang mereka ajukan adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari
Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tinggalkan/biarkanlah
aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa
orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka
terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari
sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah
maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari).
Dalil
hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil
lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau
yang diperintahkan secara pasti.
Kaum
Tanpa Madzhab seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat
dan hadis di atas ke dalam konteksperintah mengikuti sunnah & larangan
melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat
dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah
Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari
dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama mengenai larangan—
di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah seperti:
Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman
yang diharamkan.
Kategori Ketiga
Di
antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah &
kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari
perhatian kaum Tanpa Madzhab, yaitu "yang tidak diperintah juga tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas
dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang
aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani
menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya
adalah "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku
untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut
perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu."
Al-Imam
Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang
hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah
melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka
berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap
tahun ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang
itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila
aku jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan
mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah
aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian".
Penjelasan
tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu
perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada
"yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil
yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa
suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya,
sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram
atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau
melarangnya.
Tetapi
sayangnya, kategori ini
mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang
dilarang". Menurut kaum Tanpa Madzhab, melakukan sesuatu
yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah,
dengan dalil:
"…
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An-Nuur: 63)
Lagi-lagi
mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi perintah
Rasul pada ayat di atas itu punbersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah
"melakukan apa yang tidak diperintahkan".
Bila
melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata
karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga
mereka yang berpaham Tanpa Madzhab—sudah melakukan pelanggaran yang sangat
banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena
telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid,
menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya
yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.
Kemudian
mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
"Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka
amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).
Terjemah
hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Tanpa Madzhab, dan
pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati
seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi
amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami
atasnya". Kata "amr" memiliki banyak
arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang
berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau
imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya
adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara
'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa
'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa
'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat
janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti
"perintah", kata "amara" lebih tepat
diiringi huruf "bi" (dengan), seperti firman
Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk berbuat adil).
Kata amr pada "amrunaa" di
dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama)
kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa
yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak
sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya
pun kata "amrunaa"diartikan sebagai "perintah
kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka
pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan
perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami
atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa
mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang
bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim).
"Tidak
sesuai perintah" mengandung pengertian
adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan,
contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal
shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan
suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu
pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja
maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan "tidak
tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak
ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang
membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak
diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang
seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh
bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?
Terlepas
dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan
yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat
umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah
mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau
tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus.
Kita
tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara
"yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah
aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas
menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat"
dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا،
وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ
تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ
نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
"Sesungguhnya
Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka
janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka
jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa
hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa
hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi
kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari
tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan
oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis
ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada
urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan
beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan
kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan",
"menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya,
saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala”mendiamkan
beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak
memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia
wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke
dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu
artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih
jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Tanpa Madzhab dapat menyatakan bahwa
melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang,
sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya
sebagai "rahmat"??!
Imam
Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian
mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus
pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses
pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan
agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina.
Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau
sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu
pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak
ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak
pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan
suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu
bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa
dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum
"boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan
prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw.
tersebut.
Di
sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar
mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup
mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan
dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil
meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat
Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru
(entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru
yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap
dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan
bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara
baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang
berbau agama".
Ketika
kaum Tanpa Madzhab tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah
mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran
agama" dengan "perkara baru yang berbau
agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakanbid'ah sesat
dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang
ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam
berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat
Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada
beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana"rahmat" yang
ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh
cinta dan pemuliaan terhadap beliau.
Kaum
Tanpa Madzhab seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan
kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan
yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan
isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang
shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang
membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk,
tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat
shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada
dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau
para shahabatnya".
Kaum
Tanpa Madzhab, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil
dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ
رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
"Setiap ibadah yang
tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian
lakukan" (Prof. TM
Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria
Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu
Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang
lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam bukuEnsiklopedia Bid'ah karya
Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun
seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah
bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut
urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita
memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang
tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih
dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
"Asalnya ibadah
adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"
atau dalam kaidah
lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada
dalil yang
menyuruhnya."
Kaidah
itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang
yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut
sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Tanpa Madzhab, kaidah itu
dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang
punya ketentuan dalam hal cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat,
puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah
mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh
hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka
baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan
sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja,
di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan
itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya
sunnah.saja tidak mungkin.
Bila
semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa
membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu
mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu
dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan
kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang
lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti
yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di
dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak
rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan
susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu
bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa
diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk,
apalagi keadaan manusianya?
Adalah
sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia
pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Tanpa Madzhab,
maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala
sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending,
gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Tanpa Madzhab
adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut
paham Tanpa Madzhab, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan
oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak
laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian
rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat
terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi
sangat membosankan.
Itulah
mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara
adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad
Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul,
pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka
lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan
yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan
para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in.
3.
DALIL SESATNYA SETIAP BID'AH
Menyangkut bid'ah yang
sering dituduhkan oleh kaum Tanpa Madzhab terhadap amalan kaum muslimin di
berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka
kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
"Adapun
sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah
(al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan
seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan
setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي
النَّارِ (رواه النسائي)
"Barang
siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang
dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab
Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang
diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah,
setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam
neraka" (HR. Nasa'i).
Pada
hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk,
yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah.
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan.
Sedangkan bid'ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum
pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid'ah dengan
ungkapan:
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ
عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
"Apa
yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya".
Dari
pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di
masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau
agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun
pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid'ah secara
bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti:
Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian
dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar
hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa
mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang
bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim).
Kaum
Tanpa Madzhab menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid'ah di
atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau agama" atau
"berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah
Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir
yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau
sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak
ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan
beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat
beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak
boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau
sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid'ah.
Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau
tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin' Donut membuat
donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa,
maka ia telah melakukan bid'ah.
Yang
demikian karena mereka mendefinisikan bid'ah dengan
pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang
menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa
akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal,
definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah
disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Agaknya
pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan
berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika
menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan",
Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan
diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau
tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis
seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya
ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan
seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau
sudah melakukannya. Benarkah begitu?
Mari
kita teliti pemahaman kaum Tanpa Madzhab tersebut. Ada beberapa hal yang
perlu kita cermati, yaitu:
1. Hadis
tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut
bersifat umum, artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk
ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang
berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena
banyak perkara baru "berbau agama" yang tidak mungkin dianggap
sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf lalu mencetak dan
memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi
khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan
lain sebagainya.
Bila Rasulullah Saw.
tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat
beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang
terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai
orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga
beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di
masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa saja dan bagaimana
saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama
dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak". Bagaimana
mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena
seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga
sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di
masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat
menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:
... لاَ يَأْتِي
عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا
رَبَّكُمْ ...(رواه البخاري)
"Tidaklah
datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari
sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …"(HR. Bukhari)
2. Hadis
tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut bukanlah
hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan,
melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan
para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih
mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau
pemahaman tentang maksud "sesatnya" muhdatsat dan bid'ah yang
sesungguhnya.
Contohnya seperti
riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do'a I'tidal dengan
bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang
melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat
tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar
dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan mencampur ayat
pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalatmasbuq yang
dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya
dengan inisiatif/ijtihadsendiri tetapi Rasulullah Saw. malah
membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang
lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada
Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an dalam satu mushaf,
juga riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat tarawih di
masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya
mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau
agama.
Kaum Tanpa Madzhab
seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut,
tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi
pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid'ahyang
sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid'ah sebagai
kesesatan tanpa kecuali.
Mereka
menolak pendapat para ulama yang membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah
dhalalah/sayyi'ah(bid'ah yang sesat/buruk) dan bid'ah
hasanah/mahmudah (bid'ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat
para ulama yang mengkategorikan bid'ah secara hukum menjadi lima (wajibah,
mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah
diniyyah/syar'iyyah (bid'ah agama/syari'at) dan bid'ah
duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid'ah
diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya
menjadi dua: yaitu bid'ah I'tiqadiyah (bid'ah aqidah) dan bid'ah
'amaliyah (bid'ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi
dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah yang menyebabkan
kafir) dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak
menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah
mukaffirah, bid'ah muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah
makruhah tanzih(lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah
al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap
Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).
3. Perkara
baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan
penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan
sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak
diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai
baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang
kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan
itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja
(kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat
berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada
masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan
pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu
baik.
Syaikh al-Ghamary di
dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii tahqiq ma'na al-Bid'ah hal.
5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن
تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم
يبلغ جميعهم علم به
"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil
syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh
salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada
uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah
lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh
mereka (belum dikenal formatnya-red) " (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan
Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim
Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4. Definisi bid'ah yang
dikemukakan oleh kaum Tanpa Madzhab adalah bid'ah. Sebab,
Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi
tentang bid'ah seperti yang mereka buat, yaitu:"”Sesuatu
yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh
Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal".
Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi,"Perkara baru di dalam
agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat
beliau."Mereka juga mengklasifikasi bid'ah itu
menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi,
mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri melakukan bid'ah. Aneh, kan?!
Sebagian kalangan
dari kaum Tanpa Madzhab ada yang tidak mau menerima pendapat tentang
pengklasifikasianbid'ah (syar'iyyah & duniawiyyah)
yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten
berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan",
atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di
satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah
& sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah
& duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka
contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara
bahasa tentu juga dianggap bid'ah, seperti: Membangun
madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta
mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah,
melainkan termasuk dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan
umum).
Mereka juga berdalih
bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya
juga diperintah, bukanlah bid'ah, meskipun sarana itu tidak
pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena "sarana dihukumi
menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu al-maqashid), sedangkan
sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun
sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya
termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau
mengajarkan ilmu syari'at yang diperintahkan di dalam agama (lihat Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 29-30).
Kalau begitu, kenapa
mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.
atau kegiatantahlilan dan istighatsah yang tidak
ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat
mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama
seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, bershalawat kepada
Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a, berbagi rezeki atau sedekah,
dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu
jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan
perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh
berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti
itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan
ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?
5. Bila
segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an
dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk
apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu)
yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah
sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ
عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو
داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
"Sesungguhnya
Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang
yang akan memperbaharui agama mereka" (HR.
Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud,
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi
yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
"Sesungguhnya
Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang
mengajarkan manusia tentang agama mereka."
Hadis ini menandakan
adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan
tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami
al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka
adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah
keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa
Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan
umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau.
Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah
tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Dari sekian nama
ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama
sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di
dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai
masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di
dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau
Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Tanpa Madzhab). Bagaimana mungkin
mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka
banyak yang bertentangan dengan ijma' mayoritas ulama.
Kemungkinan ada
orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi
pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah
adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para
ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu
Taimiyah sebagaimujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya
mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka
yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in sekitar
300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul
di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari
sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan
Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di
setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh
para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di
abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.
Menolak adanya
pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah
dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah, maka
secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid,
sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi'I yang diakui oleh
para ulama sebagaimujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya
diabad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.
|
Sumber:Daarul Mukhtar