Tentang pertanyaan “Di mana Allah berada?”. Jika Anda belum membaca artikel sebelumnya, silakan membaca penjelasan bab sebelumnya terlebih dahulu agar pemahaman yang didapat lengkap dan tidak terputus-putus.

Sejarah Kaum Mujassimah / Musyabbihah

Mereka adalah kaum yang dalam menelaah Al-Qur’an dan Hadits dengan tidak mau mengikuti Imam Mazhab yang empat sehingga mereka bermazhab ddzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah, berpegang pada nash secara ddzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Pada umumnya mereka mengingkari makna majaz (kiasan) atau makna tersirat yakni makna di balik yang tertulis atau makna di balik yang tersurat. Jadi dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, mereka menelan dengan mentah-mentah tanpa berpegang teguh dengan penjelasan para salafunassholih dari kalangan ulama ahlussunnah waljmaah yang jelas lebih mengerti maksud dari perkataan Nabi.
Sehingga kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan itu bertempat dan menyerupai sifat-sifat makhluqnya. Bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa Tuhan itu bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia. Ada juga orang yang menamakan kaum ini dengan kaum mujassimah yakni kaum yang menubuhkan karena mereka menubuhkan Tuhan, mengatakan Tuhan bertubuh, bermuka, bermata, bertangan, berkaki. Ada juga orang yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina dina alias kaum “omong kosong”. Kaum Musyabbihah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang semula bermazhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak berkeyakinan dan tidak beri’tiqod sebagaimana mereka.

Guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah adalah:

1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadi al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarang buku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam Usuluddin yang berjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Sedangkan Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jauzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Al-Jauzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama Hambali yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah. Ibn al Jauzi berkata bahwa:
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara ddzohir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna ddzohir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts). Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”.
Ibn al Jauzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (ddzohir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam ddzohirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”.
Tuntutan takwil dengan makna majaz (bukan sembarang takwil atau mencari-cari takwil). Tetapi tuntutan takwil itu timbul ketika ayat-ayat mutasyabihat jika dimaknai secara mentah-mentah akan membuat Allah seakan-akan memiliki sifat makhluq, atau menunjukkan tanda kekurangan Allah. Sebagai contoh jika sebuat ayat itu menunjukkan bahwa Allah bertempat (dibatasi tempat), berpindah atau bergerak (dibatasi ruang dan waktu) maka harus ditakwil dan hilangkan pikiran itu dari pikiranmu karena Allah azza wajalla tidak seperti itu.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Bermakna:
• Allah ta’ala tidak berubah
• Allah ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘Arsy
• Allah ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya
• Allah ta’ala sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya

Jadi kaum Musyabbihah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang semula bermazhab Hanbali namun pada akhirnya mereka dalam mendalami ilmu agama lebih bersandarkan dengan muthola’ah (menelaah kitab) secara otodidak (shohafi) dengan akal pikiran mereka sendiri bermazhab ddzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa dan beraqidah (beri’tiqod) berpegang pada nash secara ddzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dhoif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i:
“Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” 
Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi pada masa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru”
Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan bagi ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya adalah pelopor ulama shohafi (ulama’ otodidak dan tidak memperhatikan sanad). Beliau berupaya membebaskan pemikiran-pemikiran ummat Islam dari pemikiran yang mengikuti Imam Mazhab yang empat. Pada umumnya kitab dan tulisan Ibnu Taimiyyah tidak merujuk kepada pendapat Imam Mazhab yang empat dan hanya bersandar pada pendapatnya sendiri, salah satu yang populer adalah Majmu Fatawa. Ibnu Taimiyyah adalah ulama yang mengusung perlunya membuka kembali pintu ijtihad berlandaskan mazhab ddzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa dan beri’tiqod (beraqidah) berpegang pada nash secara ddzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” menuliskan:
Ibnu Taimiyyah dalam Ar Risalah Al ‘Arsyiyah berkata:
“Sesungguhnya Arsy tidak kosong; karena dalil-dalil tentang bersemayamnya Allah di atas Arsy adalah muhkam (tidak memerlukan takwil karena kejelasan maknanya), dan hadits tentang turun-Nya Allah muhkam pula. Sedangkan sifat-sifat Allah SWT tidak bisa dikiaskan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Maka wajib bagi kita untuk menetapkan nash-nash tentang istiwa (bersemayam) berdasarkan kedudukannya yang muhkam, begitu pula tentang turunnya Allah. Kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan bagaimana Dia turun, sedangkan akal kita sangat terbatas, sempit dan hina untuk mengetahui ilmu Allah SWT”
Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa Allah berada (bertempat) di atas ‘Arsy. Arsy tidak kosong walaupun Tuhan turun ke langit dunia setiap masih tersisa sepertiga malam terakhir. Pendapat “Arsy tidak kosong” menunjukkan bahwa Tuhan berada (bertempat) dalam ruang di atas ‘Arsy dan mempunyai bentuk sehingga “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata :
“Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Allah tidak membutuhkan tempat, dan setelah menciptakan arsy ternyata Allah berada di atasnya, berarti Allah berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk).  Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang ddzohirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna (Tuhan kita turun ke langit) yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang ddzohir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna ddzohir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah subhanahu wata’ala, yakni mempunyai arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata
Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar Ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahpahamannya sehingga beliau wafat di penjara.