| 
Berargumen
  dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam
  menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang
  menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang
  dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4)
  sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3.
  Ijma'  4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan
  penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau
  Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan)
  para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur'an dan Hadis, dan bila
  juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu
  perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di
  dalam al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para
  Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul
  Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21). 
Digunakannya  ijma' dan qiyas (yang
  mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum
  suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa
  wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru
  di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada
  satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam
  al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain
  (pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali
  prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang
  penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. 
Bayangkan,
  betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala
  permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam
  al-Qur'an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an
  bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan
  perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi
  Adam As. sampai hari kiamat. 
Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh
  Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada
  ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur'an)
  maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara
  agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya
  atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai "pendapat manusia"
  yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa
  atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi'I atau Imam
  Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang
  dalil dibandingkan diri mereka. 
Di
  sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Tanpa Madzhab seperti sangat
  idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan
  mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus
  atau langsung, dan ini disebut "dalil khusus". 
Namun
  di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang
  karena dianggap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka
  tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan
  dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid'ah secara
  langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah itu.
  Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir "dalil
  umum". 
Lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan
  untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz
  dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR.
  Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat
  juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr,
  Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid'atin dhalalah (setiap
  bid'ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan
  lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan "perkara baru",
  sehingga tidak sah bila kata bid'ah itu diarahkan kepada perkara-perkara
  tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau
  acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau
  menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan
  Maulid atau tahlilan.   
Metodologi
  pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Tanpa
  Madzhab dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena
  pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam
  memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah
  dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya
  dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan
  secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadis. 
Terbukti, dari
  ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang
  dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang
  kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka
  tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan
  selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda
  bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya
  Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru
  dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil
  pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya. 
Kaum
  Tanpa Madzhab bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta'wil (penafsiran
  terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak
  murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat
  manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti
  halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam
  beragama menurut mereka harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa adanya
  seperti yang tersebut secara tekstual.  
Di
  sinilah pangkalnya, kenapa kaum Tanpa Madzhab selalu mempermasalahkan amalan
  atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah
  masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari
  pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya,
  sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang
  oleh  kaum Tanpa Madzhab sebagai perkara ushul (pokok/prinsip)
  yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur. 
Padahal,
  untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan
  dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka
  malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid'ah yang
  sangat diandalkan oleh kaum Tanpa Madzhab itulah yang akan kita bahas secara
  tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara
  obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita
  kategorikan menjadi: 
1.  Dalil kewajiban
  mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur
  Rasyidin) 
2.   
  Dalil perintah &
  larangan 
3.  Dalil sesatnya
  setiap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam
  agama)  
1. DALIL KEWAJIBAN MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH SAW. DAN PARA SHAHABAT BELIAU (KHULAFA'UR RASYIDIN)
Kaum
  Tanpa Madzhab sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti Sunnah
  Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid'ah yang
  mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut
  ini: 
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
  عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا
  فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
  الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ
  الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه) 
"Hendaklah
  kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin)
  meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang
  sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku
  dan sunnah para khulafa' rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat
  petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan
  jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya
  setiap bid'ah itu kesesatan"(HR. Ibnu Majah.
  Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad). 
Di
  dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan: 
... وَتَفْتَرِقُ
  أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ
  مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا
  عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي) 
"…
  dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali
  satu golongan." Mereka (shahabat) bertanya, "siapakah itu ya
  Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu yang aku dan para shahabatku
  berada di atasnya" (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi). 
Kaum
  Tanpa Madzhab lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi
  definisi bid'ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber rujukan umat
  dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan atau
  dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama, baik
  prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori bukan
  "sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya" alias bid'ah dan
  kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisi bid'ah yang
  mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam
  masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para
  Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihatEnsiklopedia
  Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena
  tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau. 
 Allah SWT memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam untuk
  mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu
  para tabi'in yang kemudian disebut dengan generasi salaf.  Hal
  ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw: 
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
  يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري) 
"Sebaik-baik
  umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian
  masa orang-orang sesudah mereka" (HR.
  Bukhari) 
 Pada
  hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa
  300 H. atau masa tabi'in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw.
  yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan
  kaum Tanpa Madzhab menjadikan generasi salaf tersebut
  sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka
  merasa lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan
  diri dengan "Salafi" (pengikut generasi salaf).  
Tidak
  ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka
  tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak ada lagi
  kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam urusan
  agama. Permasalahannya bermula saat kaum Tanpa
  Madzhab seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi
  salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw.
  sampai masa tabi'in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat
  kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama
  pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat. 
Mari
  kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di atas,
  terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh
  kaum Tanpa Madzhab, dan hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan
  mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu: 
1.  Khulafa'ur-Rasyidin
  al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering
  dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar
  ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin 'Affan Ra., dan Ali bin Abi
  Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya
  isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud,  Sufyan ats-Tsauri
  (ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa'
  tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertian Khulafa'ur-Rasyidin memang
  tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena
  melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan
  keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup
  kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya. 
Salah satunya adalah seperti yang disebutkan
  oleh as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu
  Majah, 
قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة الإسلام
  المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء الحق
  وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم 
"Dikatakan mereka itu
  (khulafa'ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali),
  dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja
  yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad
  (mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah
  khulafa'ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran,
  menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus." 
2. Pengertian
  kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat umum,
  artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan,
  perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan
  para shahabat beliau, tetapi juga termasuk isyarat,
  prinsip dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau
  menyelesaikan masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya
  sebagai acuan untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang
  tidak ada format/bentuknya di masa para shahabat tersebut. 
Di sinilah terdapat hikmah pada
  penyebutan sunnatil-khulafa' ar-Rasyidin (sunnah/jalannya
  para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi
  bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan: 
        إذا
  كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله "وسنة الخلفاء
  الراشدين" ثمرة. 
Jika apa yang mereka
  (Khulafa'ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya
  (dianggap) itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa
  tsamrah (buah/faidah) pada ucapan beliau "sunnah
  khulafa'ur-Rasyidin". 
Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti
  apa yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah
  Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnah khulafa'ur-Rasyidin secara
  khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan
  contoh atau dalil dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka
  berijtihad untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada
  prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.
  tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri disebut sebagai sunnah
  khulafa'ur-Rasyidin atau sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang
  mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di
  saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah (hasil
  ijtihad) para shahabat tersebut. 
Otoritas terciptanya sunnah (hasil
  ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat
  melepas kepergian Mu'adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, "Dengan
  apa engkau menetapkan hukum?" Mu'adz menjawab, "Dengan
  Kitab Allah (al-Qur'an)." Rasulullah Saw. bertanya, "Bila
  tidak engkau temukan (di Kitab Allah)?"Mu'adz menjawab, "Dengan
  Sunnah Rasulullah." Rasulullah Saw. bertanya, "Jika
  tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?" Mu'adz
  menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." Maka
  Rasulullah Saw. berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah
  memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya." 
Penyebutan suatu amalan atau ketetapan
  sebagai suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah
  Saw. yang berbunyi "Man sanna fil-Islam sunnatan
  hasanatan…"(siapa yang menetapkan di dalam Islam suatu
  sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan sunnah ini
  tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau
  saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanyasunnah sayyi'ah (sunnah/ketetapan/kebiasaan
  yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada Rasulullah Saw. atau para
  shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw. tersebut berbunyi: 
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
  حَسَنَةً  فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ
  غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ
  سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
  بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم) 
"Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di
  dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka
  bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa
  mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang
  mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah
  sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa
  orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
  sedikitpun" (HR. Muslim)   
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ
  عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ
  مَنْ   سَنَّ  الْقَتْلَ (رواه
  مسلم) 
"Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan
  anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang
  itu, karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan
  (membuat/menetapkan) pembunuhan" (HR. Muslim) 
Bila kaum Tanpa Madzhab menafsirkan
  kata "sanna sunnatan hasanatan" di atas dengan
  makna "menghidupkan sunnah yang baik" dari sunnah atau ajaran
  Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena melihat asbab
  wurud(latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut) yaitu berkenaan
  dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat menyimpang. Sebab
  kata "sanna" artinya "membuat, meletakkan,
  menetapkan", dan untuk makna "menghidupkan" ada kata "ahyaa" yang
  jelas disebut di dalam riwayat hadis lain. 
Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih
  terlihat lagi bila dihubungkan dengan ungkapan "sanna sunnatan
  sayyi'atan"pada lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut
  pemahaman mereka "menghidupkan sunnah yang buruk" dari
  sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu kita akan bertanya, apakah
  Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan keburukan yang juga
  harus ditiru oleh umatnya??!      
3.   Bila
  lingkup rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa
  Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in + 300 H.),
  lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk
  menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang
  perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berarti pengingkaran
  dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya
  ulama mujaddid(pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap
  akhir masa satu abad (100 tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut
  ini: 
     إِنَّ
  اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ
  يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني) 
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk
  umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama
  mereka" (HR. Abu
  Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani). 
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud,
  bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi
  yang berbeda, yaitu: 
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ
  كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ 
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan
  pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang
  agama mereka." 
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan
  legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para
  ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau
  saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa
  yang diakui keluasan ilmunya. Artinya,
  memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman
  dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak
  bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat
  terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda
  demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan
  yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas
  keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin,
  hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan
  sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. 
Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi
  dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid'ah menjadi
  dua: Hasanah & sayyi'ah) legalitasnya tidak hanya ditunjukkan
  oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw. secara umum menyebut mereka
  sebagai "Pewaris Para Nabi" sebagaimana sabdanya: 
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ
  اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا
  وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي
  وأبو داود وابن ماجه وأحمد وغيرهم) 
  "Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
  para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka
  hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya,
  berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak" (HR.
  Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain). 
Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang
  termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label
  "pewaris para nabi" itu? Nama-nama
  para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti berikut
  ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para nabi"
  sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar
  bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam
  Malik, Imam Syafi'I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal,
  Imam Abul Hasan Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'I, Imam abul-'Abbas bin
  Suraij (Mujaddidabad ke-III), Imam Sahl ash-Sha'luki (mujaddid abad
  ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin
  ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad
  ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat. 
Dari
  penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan
  para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk amalan
  yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah seperti:
  shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka
  berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan "sunnah
  hasanah" (ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas
  telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama.  
Berinovasi
  dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di
  zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas
  keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya
  bukan karena ingin membikin-bikin syari'at baru, bukan pula untuk
  menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau
  ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas,
  tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya
  dengan dalil-dalil yang secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan
  kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh
  kaum Tanpa Madzhab. Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang
  membuat mereka perlu melakukan inovasi itu. 
Fenomena
  menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau
  agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjamaah,
  tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya adalah gambaran
  jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup umat Islam,
  sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan hidayah
  untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah sengaja atau
  tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir kepada Allah,
  bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan nasihat dari
  ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini jelas ada
  dalilnya di dalam agama. 
Luar
  biasanya, para ulama yang tawadhu' itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan
  tersebut sebagai bid'ah hasanah, padahal Rasulullah Saw.
  jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah
  hasanah. Mengapa demikian?
  Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam
  pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah ditetapkan
  definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai
  peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat;
  sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai
  hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila
  ditinggalkan tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian
  hadis di atas) sunnah sebagai ketetapan atau jalan yang
  menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru orang
  lain.            
 | 
 
2. DALIL PERINTAH
  & LARANGAN 
Bagi
  kaum Tanpa Madzhab, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua
  kategori, yaitu: 
1. Yang
  diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada
  perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur'an maupun dari Rasulullah
  Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para
  Shahabat beliau. 
2.  Yang
  dilarang, yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah
  maupun dari Rasulullah Saw.   
Dalil
  yang mereka kemukakan di antaranya adalah: 
" … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
  terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
  bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
  hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7) 
Sebenarnya,
  ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang  fai' (harta
  rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran
  asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai')
  kepadamu maka terimalah dia" (lihatTafsir Jalalain). Tetapi
  para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan
  "apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
  dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul
  …" berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa
  yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat
  hadis yang mendukung makna tersebut. 
Yang
  harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum,
  artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga
  untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti
  membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.   
Dalil
  lain yang mereka ajukan adalah: 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
  وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
  قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا
  نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ
  فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري) 
Dari
  Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tinggalkan/biarkanlah
  aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa
  orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka
  terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari
  sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah
  maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari).    
Dalil
  hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil
  lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau
  yang diperintahkan secara pasti. 
Kaum
  Tanpa Madzhab seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat
  dan hadis di atas ke dalam konteksperintah mengikuti sunnah & larangan
  melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat
  dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah
  Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari
  dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama mengenai larangan—
  di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah seperti:
  Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman
  yang diharamkan. 
Kategori Ketiga 
Di
  antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah &
  kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari
  perhatian kaum Tanpa Madzhab, yaitu "yang tidak diperintah juga  tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas
  dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang
  aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani
  menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya
  adalah "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku
  untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut
  perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu." 
Al-Imam
  Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang
  hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah
  melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia,
  sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka
  berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap
  tahun ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang
  itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila
  aku jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan
  mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah
  aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian".     
Penjelasan
  tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu
  perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada
  "yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil
  yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa
  suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya,
  sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram
  atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau
  melarangnya. 
Tetapi
  sayangnya, kategori ini
  mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang
  dilarang". Menurut kaum Tanpa Madzhab, melakukan sesuatu
  yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah,
  dengan dalil:  
"…
  maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut
  akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An-Nuur: 63) 
Lagi-lagi
  mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi perintah
  Rasul pada ayat di atas itu punbersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah
  "melakukan apa yang tidak diperintahkan". 
Bila
  melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata
  karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga
  mereka yang berpaham Tanpa Madzhab—sudah melakukan pelanggaran yang sangat
  banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena
  telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid,
  menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya
  yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.     
Kemudian
  mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.: 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
  أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري) 
"Barangsiapa
  melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka
  amalan itu tertolak" (HR. Bukhari). 
Terjemah
  hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Tanpa Madzhab, dan
  pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati
  seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi
  amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami
  atasnya". Kata "amr" memiliki banyak
  arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang
  berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau
  imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya
  adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara
  'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa
  'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa
  'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat
  janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti
  "perintah", kata "amara" lebih tepat
  diiringi huruf  "bi" (dengan), seperti firman
  Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya
  Allah memerintahkan untuk berbuat adil). 
Kata amr pada  "amrunaa" di
  dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama)
  kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa
  yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak
  sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya
  pun kata "amrunaa"diartikan sebagai "perintah
  kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka
  pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan
  perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami
  atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi: 
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
  مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم) 
"Barangsiapa
  mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang
  bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim). 
"Tidak
  sesuai perintah" mengandung pengertian
  adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan,
  contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal
  shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan
  suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu
  pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja
  maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan "tidak
  tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak
  ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang
  membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak
  diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang
  seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh
  bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit? 
Terlepas
  dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan
  yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat
  umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah
  mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau
  tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus. 
Kita
  tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara
  "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah
  aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas
  menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat"
  dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: 
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا،
  وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ
  تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ
  نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره) 
"Sesungguhnya
  Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka
  janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka
  jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa
  hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa
  hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi
  kalian  bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari
  tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan
  oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).     
Hadis
  ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada
  urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan
  beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan
  kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan",
  "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya,
  saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala”mendiamkan
  beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak
  memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok  yang Ia
  wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke
  dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu
  artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih
  jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya. 
Bagaimana mungkin kaum Tanpa Madzhab dapat menyatakan bahwa
  melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang,
  sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya
  sebagai "rahmat"??!          
Imam
  Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian
  mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus
  pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses
  pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan
  agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina.
  Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau
  sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu
  pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak
  ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak
  pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan
  suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu
  bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa
  dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum
  "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan
  prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw.
  tersebut. 
Di
  sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar
  mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup
  mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan
  dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil
  meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat
  Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru
  (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru
  yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap
  dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan
  bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara
  baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang
  berbau agama".   
Ketika
  kaum Tanpa Madzhab tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah
  mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran
  agama" dengan "perkara baru yang berbau
  agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakanbid'ah sesat
  dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang
  ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam
  berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat
  Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada
  beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana"rahmat" yang
  ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh
  cinta dan pemuliaan terhadap beliau. 
Kaum
  Tanpa Madzhab seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan
  kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan
  yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan
  isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang
  shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang
  membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk,
  tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat
  shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada
  dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau
  para shahabatnya".    
Kaum
  Tanpa Madzhab, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak
  dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil
  dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut: 
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ
  رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا 
"Setiap ibadah yang
  tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian
  lakukan" (Prof. TM
  Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria
  Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu
  Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang
  lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam bukuEnsiklopedia Bid'ah  karya
  Hammud bin Abdullah al-Mathar). 
Meskipun
  seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah
  bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut
  urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita
  memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang
  tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih
  dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan: 
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ 
"Asalnya ibadah
  adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)" 
atau dalam kaidah
  lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada 
dalil yang
  menyuruhnya." 
Kaidah
  itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang
  yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut
  sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Tanpa Madzhab, kaidah itu
  dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang
  punya ketentuan dalam hal cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat,
  puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah
  mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh
  hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka
  baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan
  sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja,
  di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan
  itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya
  sunnah.saja tidak mungkin. 
Bila
  semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
  Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa
  membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu
  mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu
  dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan
  kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang
  lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti
  yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di
  dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak
  rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan
  susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu
  bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa
  diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk,
  apalagi keadaan manusianya? 
Adalah
  sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia
  pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Tanpa Madzhab,
  maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala
  sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending,
  gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Tanpa Madzhab
  adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut
  paham Tanpa Madzhab, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan
  oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak
  laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian
  rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat
  terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi
  sangat membosankan. 
Itulah
  mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara
  adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad
  Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul,
  pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka
  lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan
  yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan
  para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in. 
3.
  DALIL SESATNYA SETIAP BID'AH 
Menyangkut bid'ah yang
  sering dituduhkan oleh kaum Tanpa Madzhab terhadap amalan kaum muslimin di
  berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka
  kemukakan, yaitu: 
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ
  الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
  بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم) 
"Adapun
  sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah
  (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan
  seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan
  setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim). 
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ
  هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ
  هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ
  بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي
  النَّارِ (رواه النسائي) 
"Barang
  siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat
  menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang
  dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab
  Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
  Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang
  diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah,
  setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam
  neraka" (HR. Nasa'i). 
Pada
  hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk,
  yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah. 
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan.
  Sedangkan bid'ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum
  pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid'ah dengan
  ungkapan: 
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ
  عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ 
"Apa
  yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya". 
Dari
  pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di
  masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau
  agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun
  pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid'ah secara
  bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti:
  Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian
  dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar
  hadis Rasulullah Saw.: 
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا
  مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم) 
"Barangsiapa
  mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang
  bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim). 
Kaum
  Tanpa Madzhab menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid'ah di
  atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau agama" atau
  "berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah
  Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir
  yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau
  sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak
  ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan
  beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat
  beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak
  boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau
  sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid'ah.
  Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau
  tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin' Donut membuat
  donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa,
  maka ia telah melakukan bid'ah. 
Yang
  demikian karena mereka mendefinisikan bid'ah dengan
  pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang
  menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa
  akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal,
  definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah
  disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau. 
Agaknya
  pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan
  berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika
  menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan",
  Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan
  diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau
  tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis
  seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya
  ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan
  seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau
  sudah melakukannya. Benarkah begitu? 
Mari
  kita teliti pemahaman kaum Tanpa Madzhab tersebut. Ada beberapa hal yang
  perlu kita cermati, yaitu: 
1.      Hadis
  tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut
  bersifat umum, artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk
  ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang
  berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena
  banyak perkara baru "berbau agama" yang tidak mungkin dianggap
  sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf lalu mencetak dan
  memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi
  khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan
  lain sebagainya. 
Bila Rasulullah Saw.
  tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat
  beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang
  terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai
  orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga
  beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di
  masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa saja dan bagaimana
  saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama
  dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak". Bagaimana
  mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena
  seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga
  sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di
  masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat
  menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya: 
... لاَ يَأْتِي
  عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا
  رَبَّكُمْ ...(رواه البخاري) 
"Tidaklah
  datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari
  sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …"(HR. Bukhari) 
2.      Hadis
  tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut bukanlah
  hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan,
  melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan
  para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih
  mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau
  pemahaman tentang maksud "sesatnya" muhdatsat dan bid'ah yang
  sesungguhnya. 
Contohnya seperti
  riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do'a I'tidal dengan
  bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang
  melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat
  tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar
  dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan mencampur ayat
  pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalatmasbuq yang
  dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya
  dengan inisiatif/ijtihadsendiri tetapi Rasulullah Saw. malah
  membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang
  lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada
  Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an dalam satu mushaf,
  juga riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat tarawih di
  masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya
  mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau
  agama. 
Kaum Tanpa Madzhab
  seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut,
  tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi
  pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid'ahyang
  sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid'ah sebagai
  kesesatan tanpa kecuali. 
 Mereka
  menolak pendapat para ulama yang membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah
  dhalalah/sayyi'ah(bid'ah yang sesat/buruk) dan bid'ah
  hasanah/mahmudah (bid'ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat
  para ulama yang mengkategorikan bid'ah secara hukum menjadi lima (wajibah,
  mandubah, makruhah, mubahah, muharramah). 
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah
  diniyyah/syar'iyyah (bid'ah agama/syari'at) dan bid'ah
  duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid'ah
  diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya
  menjadi dua: yaitu bid'ah I'tiqadiyah (bid'ah aqidah) dan bid'ah
  'amaliyah (bid'ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi
  dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah yang menyebabkan
  kafir) dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak
  menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah
  mukaffirah, bid'ah muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah
  makruhah tanzih(lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah
  al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap
  Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4). 
3.      Perkara
  baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan
  penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan
  sekalipun.  Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak
  diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai
  baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang
  kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan
  itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja
  (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat
  berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada
  masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan
  pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu
  baik. 
Syaikh al-Ghamary di
  dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii tahqiq ma'na al-Bid'ah hal.
  5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata: 
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن
  تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم
  يبلغ جميعهم علم به 
"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil
  syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh
  salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada
  uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah
  lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh
  mereka (belum dikenal formatnya-red) " (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan
  Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim
  Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71). 
4.      Definisi bid'ah yang
  dikemukakan oleh kaum Tanpa Madzhab adalah bid'ah. Sebab,
  Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi
  tentang bid'ah seperti yang mereka buat, yaitu:"”Sesuatu
  yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh
  Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal".
  Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi,"Perkara baru di dalam
  agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat
  beliau."Mereka juga mengklasifikasi bid'ah itu
  menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh
  Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi,
  mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri melakukan bid'ah. Aneh, kan?! 
Sebagian kalangan
  dari kaum Tanpa Madzhab ada yang tidak mau menerima pendapat tentang
  pengklasifikasianbid'ah (syar'iyyah & duniawiyyah)
  yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten
  berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan",
  atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di
  satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah
  & sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah
  & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka
  contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara
  bahasa tentu juga dianggap bid'ah, seperti: Membangun
  madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta
  mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah,
  melainkan termasuk dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan
  umum). 
Mereka juga berdalih
  bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya
  juga diperintah, bukanlah bid'ah, meskipun sarana itu tidak
  pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena "sarana dihukumi
  menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu al-maqashid), sedangkan
  sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun
  sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya
  termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau
  mengajarkan ilmu syari'at  yang diperintahkan di dalam agama (lihat Ensiklopedia
  Bid'ah, hal. 29-30). 
Kalau begitu, kenapa
  mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.
  atau kegiatantahlilan dan istighatsah yang tidak
  ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat
  mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama
  seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, bershalawat kepada
  Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a, berbagi rezeki atau sedekah,
  dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu
  jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan
  perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh
  berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti
  itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan
  ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?         
5.      Bila
  segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an
  dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk
  apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu)
  yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah
  sabda Rasulullah Saw. berikut ini: 
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ
  عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو
  داود والحاكم والبيهقي والطبراني) 
"Sesungguhnya
  Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang
  yang akan memperbaharui agama mereka" (HR.
  Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani). 
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud,
  bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi
  yang berbeda, yaitu: 
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
  يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ 
"Sesungguhnya
  Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang
  mengajarkan manusia tentang agama mereka." 
Hadis ini menandakan
  adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan
  tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami
  al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka
  adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah
  keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa
  Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan
  umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau.
  Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah
  tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. 
Dari sekian nama
  ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama
  sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di
  dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai
  masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di
  dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau
  Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Tanpa Madzhab). Bagaimana mungkin
  mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka
  banyak yang bertentangan dengan ijma'  mayoritas ulama. 
Kemungkinan ada
  orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi
  pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah
  adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para
  ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu
  Taimiyah sebagaimujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya
  mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka
  yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in sekitar
  300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul
  di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari
  sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan
  Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di
  setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh
  para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di
  abad ke-12 lebih tidak pantas lagi. 
Menolak adanya
  pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah
  dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah, maka
  secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid,
  sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi'I yang diakui oleh
  para ulama sebagaimujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya
  diabad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul
  Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya.  
 | 
 
Sumber:Daarul Mukhtar