INILAH IBNU TAYMIYYAH: ANTARA BID'AH HASANAH DAN MAULID NABI, PERSEMBAHAN BUAT PARA PENGAGUM AS SYAIKH IBN TAIMIYYAH
Bismillah,
Berikut kami kutipkan
beberapa pandangan/pendapat As Syaikh Ibn Taimiyah tentang beberapa
perkara yang oleh para pengagum beliau dianggap sebagai Bid’ah Sesat atau
Syirik.
Mereka para asatidza
Salafi besar kemungkinan mengabaikan atau bahkan menyembunyikan banyak fatwa
Ibn Taimiyah yang dirasa tidak sesuai dengan misi
atau keinginan mereka.
Tulisan kami kali ini
tidak dalam rangka membenarkan pendapat para ulama kami dengan berhujjah dengan
pendapat As Syaikh Ibn Taimiyah, akan tetapi kami persembahkan beberapa
pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah khususnya yang menyangkut amalan-amalan yang
dituduh sebagai bid’ah sesat guna membuka mata hati para pengikut SALAFI/TANPA
MADZHAB agar menghentikan arogansinya dalam memerangi saudara seiman.
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN BID’AH HASANAH
Dalam salah satu
fatwanya yang terhimpun dalam kitab “Majmu’ Al Fatawa” Syaikh Ibn Taimiyah
berkata :
وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ
ضَلَالُ مَنْ ابْتَدَعَ طَرِيقًا أَوْ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ الْإِيمَانَ لَا
يَتِمُّ إلَّا بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُولَ لَمْ يَذْكُرْهُ وَمَا
خَالَفَ النُّصُوصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَا لَمْ
يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لَا يُسَمَّى بِدْعَةً قَالَ الشَّافِعِيُّ –
رَحِمَهُ اللَّهُ – : الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا
وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلَالَةٍ . وَبِدْعَةٌ لَمْ
تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُونُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ :
نِعْمَتْ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلَامُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ البيهقي
بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ فِي الْمَدْخَلِ
“Dari sini dapat
diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia
berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan
tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam-
tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah Bid’ah
berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedang pandangan yang tidak diketahui
menyalahinya terkadang tidak dinamakan Bid’ah. Imam As Syafi’iy
–rohimahulloh- berkata : “Bid’ah itu ada dua : Pertama ; Bid’ah yang menyalahi
al qur’an, sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wasallam- maka ini disebut Bid’ah Dholalah. Kedua ; Bid’ah yang tidak
menyalahi hal tersebut, maka Bid’ah ini terkadang disebut Bid’ah Hasanah
berdasar pernyataan Umar “Sebaik-baik Bid’ah adalah ini (tarowih)”. Pernyataan
Imam As Syafi’iy ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam kitab Al Madkhol dengan
sanad yang shohih. (Majmu’ Fatawa, vol. 20, hlm. 163)
Coba anda perhatikan
tulisan yang kami cetak tebal diatas dengan hati dan pikiran yang bebas….,
betapa beliau menamai “Bid’ah” bukan atas setiap perkara baru, melainkan pada
perkara yang menyalahi Nash.Sedang perkara yang tidak menyalahi Nash tidak disebut “Bid’ah”.
Lebih jauh sikap beliau yang menghormati dan menghargai pendapat Imam As
Syafi’iy yang membagi Bid’ah menjadi Bid’ah Dholalah dan Bid’ah Hasanah.
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN TAHLILAN, YASINAN, (DZIKIR BERJAMA’AH)
وَسُئِلَ : عَنْ رَجُلٍ
يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ
وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ
ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ
التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ
وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُنْكِرُ
يُعْمِلُ السَّمَاعَ مَرَّاتٍ بِالتَّصْفِيقِ وَيُبْطِلُ الذِّكْرَ فِي وَقْتِ
عَمَلِ السَّمَاعِ ”
Syaikh Ibnu Taimiyah
ditanya tentang seseorang yang mengingkari ahli dzikir (berjama’ah) dengan
berkata pada mereka : “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian
lakukan juga bid’ah.” Jama’ah tersebut
memulai dan menutup dzikirnya dengan al qur’an, lalu mendo’akan kaum muslimin
yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Mereka merangkai bacaan Tasbih,
Tahmid, Tahlil, Takbir, Hauqolah (Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah) dan
sholawat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam ?
فَأَجَابَ :
الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ
وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي
الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : {
إنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ
يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ } وَذَكَرَ الْحَدِيثَ
وَفِيهِ { وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك } لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ
يَكُونَ هَذَا أَحْيَانًا فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ وَالْأَمْكِنَةِ فَلَا يُجْعَلُ
سُنَّةً رَاتِبَةً يُحَافَظُ عَلَيْهَا إلَّا مَا سَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُدَاوَمَةَ عَلَيْهِ فِي الْجَمَاعَاتِ ؟ مِنْ الصَّلَوَاتِ
الْخَمْسِ فِي الْجَمَاعَاتِ وَمِنْ الْجُمُعَاتِ وَالْأَعْيَادِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
. وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ
الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ
اللَّيْلِ وَغَيْر ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا
Syaikh Ibnu Taimiyah
menjawab :”Berkumpul untuk berdzikir, mendengarkan al qur’an dan berdo’a adalah
amal sholih dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama di setiap waktu. Dalam shohih (Al Bukhori) bahwasannya
Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Alloh memiliki
banyak malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu
dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Alloh, maka mereka memanggil :
“Silahkan sampaikan hajat kalian”, Ibnu Taimiyah menuturkan hadits tersebut
(secara utuh), dan didalamnya terdapat redaksi; “Kami menemukan mereka
bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”. Akan tetapi hendaknya hal ini dilakukan
dalam sebagian waktu dan keadaan, dan tidak menjadikannya sebagai sunnah yang
dipelihara yang mengiringi sholat, kecuali perkara yang telah di contohkan
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam untuk di lakukan secara istiqomah
berupa sholat lima waktu, jum’at, dan perayaan-perayaan (‘id) juga yang
semisal. Adapun memelihara rutinitas wirid-wirid yang ada padanya, berupa
sholawat, bacaan al qur’an, dzikir, atau do’a setiap pagi dan sore serta pada
sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan sunnah Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Alloh yang sholih zaman dahulu dan
sekarang. (Majmu’ Fataawaa, vol. 22, hal. 520)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN SAMPAINYA PAHALA KEBAIKAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
وَسُئِلَ – رَحِمَهُ
اللهُ تَعَالَى – عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا
سَعَى } وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } فَهَلْ يَقْتَضِي ذَلِكَ إذَا مَاتَ لَا
يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِ الْبِرِّ؟
Syaikh Ibnu Taimiyyah
-rahimahullohu ta’aala- ditanya tentang Firman Alloh Swt, “Dan tidaklah bagi
seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS. An-Najm: 39) dan hadits
“Ketika anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara;
shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan
dia.” adakah kedua nash tersebut menunjukkan “jika seseorang telah meninggal
maka tak sesuatupun sampai padanya dari perbuatan baik?”
فَأَجَابَ : الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ
الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ
الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ
بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ
دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ
كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ
Maka Syaikh Ibnu
Taimiyah menjawab : “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin, Tidak ada ayat dan juga
hadits (yang menyatakan) bahwa mayyit tidak beroleh kemanfaatan dari do’a
makhluk dan juga dari amal kebaikan untuknya, bahkan para Imam umat Islam sepakat
berolehnya manfaat bagi mayyit dengan itu semua, dan masalah ini adalah
termasuk perkara yang diketahui dari islam secara pasti, dan sungguh al qur’an,
as sunnah dan ijma’ telah menunjukkan itu semua. Maka barangsiapa menyelisihinya
maka dia termasuk ahli bid’ah.” (Al Fatawwa Al Kubro, vol. 3 hal. 27)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN TALQIN MAYIT
سُئِلَ: مُفْتِي
الْأَنَامِ، بَقِيَّةُ السَّلَفِ الْكِرَامِ، تَقِيُّ الدِّينِ بَقِيَّةُ
الْمُجْتَهِدِينَ، أَثَابَهُ اللَّهُ، وَأَحْسَنَ إلَيْهِ. عَنْ تَلْقِينِ
الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ، هَلْ صَحَّ فِيهِ
حَدِيثٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَوْ عَنْ
صَحَابَتِهِ؟ وَهَلْ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَيْءٌ يَجُوزُ فِعْلُهُ؟ أَمْ لَا؟
Syaikh Ibnu Taimiyyah
-rahimahullohu ta’aala- ditanya tentang Talqin Mayit dalam kuburnya setelah
rampung proses pemakamannya. “Adakah hadits shohih dari Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wasallam- atau dari sahabatnya tentang hal tersebut ? dan jika tidak
ada satu dalilpun dalam hal tersebut adakah ia boleh dilakukan atau tidak ?
أَجَابَ: هَذَا
التَّلْقِينُ الْمَذْكُورُ قَدْ نُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ:
أَنَّهُمْ أَمَرُوا بِهِ، كَأَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، وَغَيْرِهِ، وَرُوِيَ
فِيهِ حَدِيثٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ مِمَّا
لَا يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِ ؛ وَلَمْ يَكُنْ كَثِيرٌ مِنْ الصَّحَابَةِ يَفْعَلُ
ذَلِكَ، فَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ: إنَّ
هَذَا التَّلْقِينَ لَا بَأْسَ بِهِ، فَرَخَّصُوا فِيهِ، وَلَمْ يَأْمُرُوا بِهِ.
وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَكَرِهَهُ
طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ، وَغَيْرِهِمْ.
Maka beliau menjawab :
Adapun talqin tersebut sungguh telah diriwayatkan dari sekelompok para sahabat
seperti Abi Umamah Al Bahiliy dan yang lain, sesungguhnya mereka memerintahkan
hal tersebut, dan di dalamnya disebutkan hadits Nabi saw, akan tetapi hadits
tersebut tidak dapat dihukumi sohih, dan tidak banyak para sahabat yang
melakukannya. Oleh karenanya Imam Ahmad dan para ulama yang lain berkata
:“Sesungguhnya talqin tersebut tidak apa-apa”, dan mereka memberi kelonggaran
dalam masalah ini dan tidak memerintahkannya. Sebagian golongan dari para Ulama
kalangan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah mensunnahkannya, sedangkan sebagian
golongan dari kalangan para ulama Malikiyyah dan yang lain memakruhkannya.
(Fatawa Al Kubro. vol 3, hal. 24)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN ZIYARAH KUBUR
أَجَابَ: الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أَمَّا زِيَارَةُ الْقُبُورِ فَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ قَدْ نَهَى
عَنْهَا نَهْيًا عَامًّا، ثُمَّ أَذِنَ فِي ذَلِكَ. فَقَالَ: {كُنْت نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا. فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ}
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ
قَبْرَ أُمِّي، فَأَذِنَ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُ فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا،
فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ
الْآخِرَةَ}.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ketika ditanya tentang ziyarah kubur beliau menjawab : Alhamdulillahi
Robbil ‘Alamiin. Adapun ziyarah kubur, sungguh terdapat dalam sohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam, bahwasannya beliau pernah melarang ziyarah kubur dengan
larangan yang bersifat umum, kemudian beliau mengizinkan ziyarah kubur. Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku telah (pernah) melarang kalian
berziyaroh kubur, maka (sekarang aku perintahkan) berziyarohlah kalian
kekuburan, sesungguhnya ziyarah kubur dapat mengingatkan akhirat.” Dan Nabi saw
bersabda : “Aku memohon izin kepada tuhanku untuk diperkenankan menziyarahi
makam ibuku dan Alloh mengizinkanku, dan aku memohon izin agar aku
diperkenankan memohonkan ampun untuk ibuku dan Alloh tidak mengizinkanku, maka
berziyarahlah kalian, sesungguhnya ziyarah kubur dapat mengingatkan kalian akan
akhirat.” (Al Fataawa Al kubro, Vol 3 hal, 43)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN KEISTIMEWAAN KUBURAN ORANG-ORANG SHOLIH
وَكَذَلِكَ مَا
يُذْكَرُ مِنَ الْكَرَامَاتِ وَخَوَارِقِ الْعَادَاتِ الَّتِي تُوْجَدُ عِنْدَ
قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِثْلُ نُزُوْلِ الْأَنْوَارِ
وَالْمَلآئِكَةِ عِنْدَهَا وَتَوَقِّي الشَّيَاطِيْنِ وَالْبَهَائِمِ لَهَا
وَانْدِفَاعِ النَّارِ عَنْهَا وَعَمَّنْ جَاوَرَهَا وَشَفَاعَةِ بَعْضِهِمْ فِي
جِيْرَانِهِ مِنَ الْمَوْتَى وَاسْتِحْبَابِ الْإِنْدِفَانِ عِنْدَ بَعْضِهِمْ
وَحُصُوْلِ الْأُنْسِ وَالسَّكِيْنَةِ عِنْدَهَا وَنُزُوْلِ الْعَذَابِ بِمَنْ
اِسْتَهَانَ بِهَا فَجِنْسُ هَذَا حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ ، وَمَا فِي
قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ كَرَامَةِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ ،
وَمَا لَهَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْحُرْمَةِ وَالْكَرَامَةِ فَوْقَ مَا
يَتَوَهَّمُهَ أَكْثَرُ الْخَلْقِ ، لَكِنْ لَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ تَفْصِيْلِ ذَلِكَ
“Demikian pula
kejadian yang disebutkan, tentang karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan
yang terjadi di kuburan para nabi dan orang-orang sholih seperti turunnya
cahaya dan malaikat di kuburan tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat
itu, api terhalang untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya,
sebagian dari para nabi dan orang-orang sholih memberi syafaat kepada
orang-orang mati yang menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di
dekat kuburan mereka, memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di
dekatnya, dan turunnya adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka
hal-hal ini adalah benar adanya dan tidak termasuk dalam topik bahasan kami
tentang diharamkannya menjadikan kuburan sebagai masjid. Apa yang terjadi pada
kuburan para nabi dan orang-orang sholih dari kemuliaan dan rahmat Alloh dan
apa yang diperoleh di sisi Alloh dari kehormatan dan kemuliaan itu berada di
atas anggapan banyak orang. (Iqtidho’us Shirothil Mustaqim, 374)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN KAROMAH PARA WALI
فَبَرَكَاتُ
أَوْلِيَاءِ اللهِ الصَّالِحِينَ بِاعْتِبَارِ نَفْعِهِمْ لِلْخَلْقِ
بِدُعَائِهِمْ إلَى طَاعَةِ اللهِ وَبِدُعَائِهِمْ لِلْخَلْقِ وَبِمَا يُنْزِلُ
اللهُ مِنْ الرَّحْمَةِ وَيَدْفَعُ مِنْ الْعَذَابِ بِسَبَبِهِمْ حَقٌّ مَوْجُودٌ
فَمَنْ أَرَادَ بِالْبَرَكَةِ هَذَا وَكَانَ صَادِقًا فَقَوْلُهُ حَقٌّ. وَأَمَّا
” الْمَعْنَى الْبَاطِلُ ” فَمِثْلُ أَنْ يُرِيدَ الْإِشْرَاكَ بِالْخَلْقِ :
مِثْلُ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ مَقْبُورٌ بِمَكَانِ فَيَظُنُّ أَنَّ اللهَ
يَتَوَلَّاهُمْ لِأَجْلِهِ وَإِنْ لَمْ يَقُومُوا بِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُولِهِ
فَهَذَا جَهْلٌ
Keberkahan para Wali
Alloh yang sholih dari aspek manfaat yang diberikan mereka dengan ajakan mereka
untuk taat kepada Alloh, mendoakan makhluk dan diturunkannnya rahmat oleh Alloh serta ditolaknya adzab berkat
eksistensi mereka adalah fakta yang konkrit. Barangsiapa yang menghendaki
keberkahan dalam konteks demikian dan ia jujur maka ucapannya benar. Adapun
pengertian yang salah itu semisal jika yang mengungkapkannya bermaksud
menyekutukan Alloh dengan makhluk, seperti seseorang yang mengira bahwa mereka
dikasihi oleh Alloh hanya berkat (orang sholih) yang dimakamkan ditempat
tersebut, sedang mereka tidak menunaikan ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya,
maka hal ini adalah tindakan bodoh. (Majmu’ul Fatawa, 11/114)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN MADZHAB AL ASY’ARIY (AL-ASYA’IROH)
وَالْعُلَمَاءُ
أَنْصَارُ فُرُوعِ الدِّينِ وَالْأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُولِ الدِّينِ .
“Para Ulama adalah
pembela ilmu-ilmu agama ,sedang Al Asy’ariyyah adalah pembela dasar-dasar agama
(Ushulud Diin) “ (Majmu’ Al Fataawa Ibnu Taimiyah, vol. 4, hlm. 16)
SYAIKH IBN TAIMIYAH
DAN MAULID NABI
فَتَعْظِيْمُ
الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مُوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ
لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ
Jadi, mengagungkan
maulid dan menjadikannya sebagai tradisi yang tidak jarang dilakukan oleh
sebagian orang, dan ia
memperoleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya
yang mengagungkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah aku
jelaskan sebelumnya padamu. (Iqtidho’us Shirootil Mustaqiim, hal. 297).
Tulisan kami diatas
semoga dapat menjadi titik awal pembuka kesadaran bagi Saudaraku yang tidak
sefaham, bahwa amaliyah yang anda permasalahkan adalah berada dalam wilayah
“Khilafiyah Ijtihadiyah”yang
tidak ada untungnya bagi Islam dan Kaum Muslimin untuk mempertajam perbedaan
dalam masalah-masalah tersebut.
Jika anda memang
saudara yang baru tumbuh semangat ke-islam-annya, kami sarankan belajarlah
dengan hati dan fikiran yang bebas dan merdeka serta bersikaplah kritis
terhadap ustadz anda sebagaimana anda begitu kritis terhadap pendapat para
Ulama kami.
Dan tentunya masih
banyak fatwa-fatwa Syaikh Ibn Taimiyah yang sejatinya dapat menjadi titik awal
menyadarkan saudaraku SALAFI/TANPA MADZHAB untuk tidak mempertajam khilafiyah yang sejatinya hanya akan merugikan
Ummat Islam. Problemnya adalah : Apakah mereka mau membuka hati dan fikiran
mereka untuk menerima pandangan/pendapat Ulama’ yang mereka kagumi ?… Wallohu
A’lam…