Jum’at petang,15 Juni 2012, Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jifri menginjakkan kakinya di Jakarta. Dari bandara, Habib Ali dan rombongan segera menuju kawasan Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tempat mereka bermalam.
Memanfaatkan waktu kedatangan nya di Indonesia yang memang terbilang amat singkat, selepas magrib hari itu diadakan majelis ijtima’ (pertemuan) antara Habib Ali dan para alumnus Darul Mushthofa, Tarim, Hadhramaut yang ada di Jakarta. Sejumlah alumnus dari luar Jakarta tampak ada pula diantara para perserta ijtima’
Pertemuan itu juga tak terbatas di hadiri alumni Darul Mushthafa, Para pecinta Habib Ali yang mendengar kabar adanya majelis bersama Habib Ali saat itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat bertatap muka secara langsung dengannya.
Risiko Dakwah
Dalam pertemuan itu, tuan rumah, Sayyid Muhsin bin Idrus Alhamid menyampaikan rasa syukurnya atas kehadiran Habib Ali di Nusantara. Kedatangan Habib Ali memang merupakan keinginan lama banyak orang di sini.
Sayyid Muhsin sempat mengisahkan, dulu sewaktu memiliki keinginan agar Habib Umar bin Hafidh dapat terus datang setiap harinya, sampai sampai sejumlah jama’ah harus berdzikir membaca seribu kali surah Alfatihah yang diniatkan agar, dengan keberkahannya, Allah menyampaikan hajat mereka berupa kedatangan rutin Habib Umar bin Hafidz di Bumi Nusantara - Indonesia.
Di hadapan Habib Ali dengan nada bertanya Sayyid Muhsin pun menyampaikan harapannya. “Apa kita di sini harus kembali membaca Al-fatihah seribu kali lagi agar Habib Ali dapat secara rutin berkesempatan berdakwah di Indonesia?” kata Sayyid Muhsin, disambut tawa hadirin.
Saat berlangsungnya majelis selepas maghrib itu, tampak beberapa wajah familiar, diantaranya Habib Munzier bin Fuad Almusawwa, Habib Abdurrahman bin Abdul Kadir Basurrah, Habib Ahmad bin Novel bin Jindan, habib Sholeh Aljufri Solo, dan sejumlah tokoh muda habaib lainnya.
Dalam kesempatan mau’izhah nya, meski terbilang singkat, Habib Ali mengulas banyak hal terutama berisikan bekal mental yang harus disiapkan oleh para da’i muda. seorang da’I, menurut habib Ali harus siap menapaki jalan terjal di tengah perjalanan dakwah mereka.
Ia mengisahkan, dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan habaib yang berdakwah di suatu daerah dan mendapat sambutan yang teramat hangat dari pernduduk setempat, sampai sampai usaha usaha dakwahnya bisa dikatakan tidak menemui rintangan sama sekali. Semuauya berjalan lancer- lancar saja. Tiap kali ada kebutuhan, orang- orang di sekitarnya dengan cekatan segera memenuhinya.
Setelah berjalan beberapa lama, ia berpikir, Rasulullah SAW dan para penerus dakwah beliau, harus jatuh bangun di jalan dakwah. Lalu mengapa ia bisa hidup tenang setiap saat, padahal ia seorang dai yang menuyeru masyarakat, sebagaimana yang dilakukan para dai itu?
Ketenangan hidup yang ia dapat selama itu tak memuaskan hatinya. Ia khawatir, jangan jangan itu semua adalah buaian syaithan. Ia pun mulai ragu dengan apa yang telah dilewatinya selama itu. Bahkan, ia ragu pada dirinya sendiri.
“Jangan jangan aku ini bukan keturunan Rasulullah SAW” sebab, para pendahulunya, yang adalah keturunan Rasulullah saw yang datang berdakwah di jalan Allah, kesemuanya menapaki jalan dakwah yang terjal dan berada dalam kehidupan yang serba kurang. Mengapa saat itu ia berdakwah sedemikian tenang?
Akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke kota lainnya. Di kotanya yang baru, ia tetap berdakwah sebagaimana yang ia lakukan di kota asalnya. Tak menunggu waktu lama, sejumlah cacian dan umpatan diembus embuskan para musuh agama. Tak sedikit fitnah yang dituduhkan kepadanya.
Ketika suasana kehidupan sedemikian susah itulah, justru hatinya mulai mendapat ketenangan. Berbagai ujian dan cobaan baik dari masyarakat maupun pemerintah ia dapati tapi ia justru semakin yakin bahwa ia benar benar berada di jalan dakwah menyeru kepada Allah. Ia juga yakin bahwa dirinya memang keturunan Rasulullah, sebab seperti itu pulalah jalan terjal yang dilewati para pendahulu dan leluhurnya. Jalan yang penuh dengan cobaan dan rintangan.
Selain itu, habib Ali juga mengingatkan para insan dakwah untuk melihat kepribadian mereka sehari hari, sebab itu dapat menjadi salah satu barometer keberhasilan dakwah seseorang. Keberhasian dakwah tidak bisa diukur dari banyaknya umat yang mengikutinya. Bahkan hendaknya seorang insan dakwah berhati hati, sebab, semakin banyak pengikut, semakin besar pula tanggung jawabnya di sisi Allah.
Adapun tentang barometer keberhasian dakwah yang dilihat dari kepribadian sehari hari dari insan dakwah itu sendiri adalah dengan memperhatikan apakah kebiasaan kebiasaan beribadah Rasulullah SAW telah mereka jalani, apakah akhaq Rasulullah telah mereka teladani, apakah perjuangan yang dihadapi Rasulullah telah mereka coba tapaki? Kalau tidak, itu artinya dakwah mereka gagal, bahkan pada diri mereka sendiri.
Target dakwah selanjutnya, dan ini yang terpenting adalah kedekatan diri kita kepada Allah dan Rasul Nya.
Demikian diantara yang disampaikan Habib Ali di majelis itu. Majelis yang tak banyak dipenuhi hadirin di malam itu semakin hangat dengan kehadiran sejumlah santri asal Indonesia Timur, bahkan dua anak lelaki yang juga berasal dari sana menyuguhkan hiburan tarian khas Indonesia Timur kepada Habib Ali. Pertanda bahwa kehadiran nya disini selalu dinanti nanti.
Lantaran Cinta
Keesokan harinya, Sabtu, 16 Juni 2012, acara inti yang menjadi agenda utama rihlah dakwah singkat Habib Ali di Jakarta, benar benar laksana lautan manusia. Lapangan Monas, tempat acara diselenggarakan dibanjiri puluhan ribu jama’ah.
Sebelum Habib Ali naik keatas podium, sejumlah pembicara turut menyampaikan sambutan maupun mau’izah nya, diantaranya Habib Abdurrahman Basurrah, Syaikh Ahmad Darwisy Al Kurdi dari Lebanon, Sayyid Abdullah Aljufri dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
Usai ketiganya berbicara, Habib Ali di daulat untuk menyampaikan mau’izah nya. Inilah waktu yang telah lama ditunggu tunggu kedatangannya, mendengarkan dakwah habib Ali secara langsung.
Diantaranya yang disampaikan Habib Ali pada malam itu, adalah bagaimana kekaguman yang sempat dilontarkan Rasulullah SAW kepada para umatnya yang terlahir jauh setelah beliau wafat. “Mereka adalah ummatku yang hidup setelahku, tak pernah bertemu denganku, tapi mereka beriman kepadaku,” ujar Habib Ali menyitir sebuah hadits dari Rasulullah terkait hal itu.
Meneladani Akhlaq Rasulullah SAW
Seandainya sebagaimana disebutkan dalam banyak kisah, para sahabat yang dicintai oleh Rasulullah sedemikian rupa, “Bagaimana dengan kita? Yang dicintai Rasul, beriman kepada beliau, meski kita tak melihat beliau?
Dan kedatangan ku kesini, ke tempat kalian, dikarenakan cinta kalian kepada Rasul. Itu yang membuatku datang dari tempat yang jauh, ingin berkumpul bersama kalian dalam kesatuan jiwa yang mencintai Nabi Muhammad SAW.
Siapa yang hidup dengan kecintaan ini, dan ia berjuang dengan akhaqnya untuk mengikuti jejak Nabi besar Muhammad, ia akan bersama Rasulullah di akhirat kelak. Sebab siapa yang mencintai beliau, akan bersama dengan beliau, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah, ‘Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya’
Dalam dakwahnya, Rasulullah SAW telah melewati banyak hal yang sulit. Misanya beliau dilempari batu bahkan dikejar kejar oleh penduduk kota Thoif, sampai sampai malaikat pajaga gunung pun diutus Allah agar menemui Baginda Rasulullah SAW untuk membalikkan gunung yang dijaganya itu keatas penduduk kota Thoif yang telah menzhalimi beliau. Namun, justru beliau berkata kepada malaikat itu, ‘Aku berharap dari keturunan mereka akan muncul orang orang yang beriman’
Rahmat dan kasih sayang seperti ini, apabila muncul dari hati seseorang kepada orang yang membenci dan meusuhinya, suatu saat kelak akan berubah menjadi simpati, sebagaimana yang terjadi di masa Nabi Saw, yang dimusuhi, dikejar kejar, bahkan menjadi orang yang paling dicari untuk dibunuh. Namun, karena rahmat yang mulia serta kasih sayang yang lembut di hati beliau, beberapa waktu kemudia keadaan pun berubah hingga Barat dan Timur termuliakan dengan kalimatullah hiyal ‘ulya (kalimat Allah yang luhur)
Ketahuilah, setiap saat kalian akan mendapatkan ujian, fitnah, dari orang orang yang suka menfitnah. Namun dapatkah kita selaku umat Rasulullah berpedoman sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah yang ketika dizhalimi malah berharap agar kelak terlahir dari keturunan mereka orang orang yang beriman kepada Allah?
Di malam Isra, ketika Rasulullah SAW ingin menaiki Buraq, awalnya tubuh Buraq bergetar, bahkan sampai enggan menerima jasad mulia Rasulullah SAW. Ini suatu pelajaran dari Allah bahwa pilihan Allah pada orang orang terpilih adalah ketentuannya.
Habib Ali kemudian menceritakan pengalaman nya saat berziarah ke Palestina sekitar dua bulan silam, “Aku berkunjung ke Masjidil Aqsha. Ada sebuah tempat yang dulu ditanyakan Rasulullah “Tempat apa itu?” jibril menjawab, itu adalah tempat diikatnya Buraq ketika akan mengantar Nabi Saw ke langit.
Mengapa Buraq sampai perlu diikat, padahal ia datang dari langit. Ini adalah pelajaran bagi kita, walaupun ia makhuq dari langit apapun, tak selayaknya kita meremehkan setiap proses yang mesti berjalan dalam usaha kita.”
Habib Ali meanjutkan di malam itu Rasulullah SAW berkumpul bersama 124 ribu Nabi dan beliau lah yang menjadi imamnya.
“Disana aku melihat suatu hamparan batu tempat nabi terakhir kali menginjakkan kaki sebelum Mi’raj. Seseorang yang disana mengatakan kepadaku ‘Coba sentuh kan tanganmu di batu itu”
Maka ketika kusentuhkan tanganku di batu itu, batu itu terasa lembut dan sangat wangi, lebih wangi dari minyak misik.
Sampai sekarang batu itu masih ada. Bahkan kalau kita masukkan tangan pada jeruji yang ada di sekitar batu itu, dan kemudian tangan kita menyentuh batu itu, kita akan merasakan kelembutan tangan Rasulullah yang pernah menyentuh batu tersebut”
Habib Ali melanjutkan kisahnya. Di setiap pintu langit Rasulullah dan malaikat Jibril disambut dan ditanya oleh para malaikat penjaga langit.
“Siapa?” Tanya malaikat penjaga pintu langit
Jibril menjawab “Jibril”
“Siapa yang bersamamu?” Tanya malaikat lagi.
“Muhammad” jawab Jibril.
Malaikat panjaga pintu langit itupun kemudian bertanya lagi “Apakah kalian telah diutus?”
“Benar”
Maka dibukalah pintu pintu langit dan bergembiralah segenap penduduk langit atas kehadiran beiau.
Begituah seterusnya. Tanya jawab antara Rasulullah dan Jibril dengan para malaikat penjaga pintu langit.
Ini juga merupakan sebuah pelajaran. Mereka para malaikat itu, sungguh mengenal Jibril AS. Apa yang ditanyakan malaikat penjaga pintu langit itu adalah pelajaran belaka untuk kita semua bahwa, meski mereka mengenal ihwal Jibril, penghulu para malaikat, dan ihwal beliau Saw, penghulu ummat di seluruh alam semesta, kecermatan dan ketelitian dalam beramal jangan sampai tidak dikedepankan. Ini sebagaimana dilakukan para malaikat yang selalu bertanya kepada Jibril dan beliau.
Ketika telah sampai di Sidratul Muntaha, Jibril mengatakan kepada Rasulullah, “Disini aku terakhir dapat mengantarmu.” Perpisahan yang akan terjadi antara Rasulullah Saw sangat membuat sedih hatinya, sampai sampai beliau mengatakan kepada Jibril, “Apakah disini seorang kekasih akan meninggalkan kekasihnya?”
Jibril mengatakan, “Ya Muhammad kalau engkau terus maju, engkau akan melewati cahaya cahaya yang Allah sediakan. Tapi seandainya aku melangkah barang selangkah lagi, akan terbakarlah tubuhku.”
Maka Rasulullah SAW terus melanjut kan perjalanan nya, disertai cahaya cahaya yang menembus relung relung hati ummat manusia, sampai akhirnya beliau berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Kekasih terbesar beliau.
Keagungan pertemuan itu tak dapat digambarkan oleh kata kata, sebab cahaya keindahan Allah melebihi setiap kalimat yang ada.
Di saat itulah, Nabi berkata, “Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatut thoyyibaatu lillah –Segala penghormatan yang diberkahi dan segala rahmat yang teramat luhur adalah milik Allah semata”
Setelah Rasulullah SAW mengatakan hal itu, Allaah menyampaikan salam kepada beliau “Assalaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullahi wabarokatuh”
Nabi saw pun menjawab, ‘Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ibaadillahishshoolihiin’
Habib Ali mengatakan, ‘Perhatikan lah, Dalam keluhuran dan ketinggian derajatnya, beliau tak melupakan ummatnya, terutama orang orang shalih agar mereka turut merasakan kebahagiaan sebagaimana yang beliau rasakan.
Karenanya, dalam shalat shalatmu, resapilah bacaan bacaan itu, yaitu ketika engkau sedang dalam duduk bertahiyyat. Itu bukan bacaan sembarangan, itu kalimat yang terlontar dalam peristiwa agung yaitu pertemuan antara Allah dan Nabi Muhammad SAW. Dengan mendalami maknanya, kau akan terbimbing dalam kehidupan orang orang shalih.
Dan ketahuilah, dengan mengucapkan kalimat kalimat itu, dan kemudian hati kita meresapinya, itu artinya ia sedang berhubungan langsung dengan Rasulullah SAW.
Malam ini kita berada di sini, tapi hubungan yang terbangun membuat kita seakan berada dikota Madinah.
Hubungan yang mempertautkan
Dalam peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW, penduduk Madinah menerima kedatangan Nabi Saw, membela beliau, mancintai beliau, menerima degan cinta dan pengorbanan, begitu pula dengan kalian, sejak leluhur kalian yang menerima kedatanagan para keturunan Nabi, yaitu Wali Songo, yang menyebarkan kalimat tauhid. Penduduk Nusantara menerima mereka dengan mendukung dan membenarkan apa yang mereka bawa.
Penduduk Madinah yang dikenal sebagai kaum Anshar, dengan akhlaq yang mereka miliki, menerima kedataangan kaum Muhajirin. Kaum Anshar dengan kecintaan mereka, telah membantu mereka, bahkan mengorbankan diri mereka dengan kaum Muhajirin. Di sini pun penduduk Nusantara memiiki kesamaan dalam kecintaan mereka terhadap orang orang yang datang dari berbagai Negara, menerima kedatangan dan menyambut dengan sambutan yang hangat, ini merupakan pertanda adanya pertautan antara Nusantara dan Madinaturrasul.
Aku menyampaikan ini sebagai peringatan karena mungkin telah datang kepada kalian orang orang yang akan memisahkan kalian dari jalan mahabbah…. Mereka berusaha memecah kalian, memisahkan kaian. Mereka menyeru agar tidak perlu mencintai Ahlul bait, mereka menyeru agar tidak sampai mencintai para ulama yang datang mengenalkan mahabbah kepada Rasulullah SAW.
Hati hati dengan orang orang seperti ini, Aku ucapkan ini di akhir ucapanku, agar kalian mengerti.
Kita tak perlu membenci mereka. Kita juga jangan memerangi mereka. Tapi tetapah teguh dengan mahabbah dan cinta kepada Rasulullah SAW, jangan sampai kaki kalian bergeser, namun tetapah berdoa agar mereka mendapat hidayah dari Allah.
Sebagian dari mereka mengatakan, ‘Jangan mencintai Rasulullah SAW secara berlebih lebihan, jangan cinta kepada Ahlul Bayt secara berlebih lebihan, jangan cinta kepada sahabat secara berlebih lebihan, itu adalah kultus’ teguhlah, peganglah, tetap dalam cinta yang benar, dalam ajaran guru guru kalian yang sanadnya bersambung sampai Nabi Muhammad SAW.
Teguhlah kalian dengan cahaya cinta Allah, peganglah dengan teguh apa yang diajarkan oeh guru kalian, Habib Munzier bin Fuad Almusawwa, yang mengajarkan ihwal cinta Allah dan cinta Rasul. Ajarkan, sebarkan cahayanya, kepada orang orang dekat kalian, teman teman kalian, murid murid kalian, tentang cinta Allah dan cinta Rasul.
Teguhlah, maka dari arah barat dan timur, orang orang akan datang untuk belajar tentang cinta kepada Allah dan mencintai RasulNya dengan apa yang kalian bawa dalam mencintai Allah dan mencintai Rasulullah SAW disini. Masa itu akan tiba, mereka akan datang dari berbagai wilayah, untuk mempelajari islam ditangan kaian. Maka teguhlah dengan apa yang diajarkan oleh guru guru kalian”
Sumber: Majalah AlKisah no.14 Juli2012