Hormat Menghormati Sesama Muslim
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW0voDNPAJFM4DtfJt7juorJeHMxIyJfqGEskqWq7A1pil6Jy21__NjDcOWtVXMcEL5R_eJy-qfuPhAPM1SKKNPx_H_ftd5RA3h38s-ydvuRcd3X7E_45dOU_QLSmRd6tipwtECweL2YU/s400/adab_muslim.jpg)
Pak Ustadz,
saya sangat salut dengan kupasan-kupasan yang dikemukakan oleh pak ustadz yang
tidak memihak salah satu kelompok umat dan selalu mengemukakan dengan berbagai
dasar hadist dan lainnya yang shahih dan buat saya itu menunjukan kedalaman
ilmu pak ustadz dan terkadang pula saya sangat sedih terkadang melihat antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya saling merasa paling benar hingga timbul
perpecahan umat. Harapan saya semoga dengan adanya konsultasi seperti ini akan
saling menguatkan sesama umat muslim bahwa akan pentingnya arti saling
menghormati dan menghargai sesamannya seperti yang diajarkan junjungan kita
Nabi Muhamad SAW. Biarkanlah urusan ibadah adalah urusan kita dengan tuhan saja
selama masih berpegang al-Quran dan Sunah rasul maka insya allah akan selalu
dirodhoi. Saya berharap untuk bimbingan dari pak ustadz agar terus berlanjut
dan semoga banyak bermanfaat bagi kita semua.
wassalamualaikum wr. wb.
Assalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sikap menjaga ukhuwah dengan sesama
muslim dan tidak bertikai hanya urusan khilafiyah mmang sudah bagian dari
kewajiban kita semua. Bukan suatu hal yang terlalu aneh atau istimewa. Kita
semua insya Allah sepakat untuk hal yang satu ini. Karena memang perintah Allah
sangat jelas.
Bukannya kita tidak boleh berbeda
pendapat, tapi seharusnya perbedaan pendapat itu tidak boleh sampai melahirkan
sikap saling menjelekkan atau tindakan lain yang merusak kemesraan sesama
muslim.
Bagaimana mungkin kita sibuk meributkan
masalah khilafiyah hingga berbantah-bantahan bahkan saling mencaci-maki,
padahal Allah SWT telah melarang hal itu dalam firmannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى
أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا
مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ
الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik.
Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Hujurat: 11)
Sikap merendahkan kelompok lain
sesama muslim adalah sikap yang jelas-jelas diharamkan Allah SWT dengan
firman-Nya. Mana mungkin kita boleh bersikap demikian? Dan mana boleh kita
berdiam diri menyaksikan ayat-ayat Allah SWT yang suci ini dijadikan bahan
permainan?
Tentu kita wajib untuk saling mengingatkan
saudara muslim dengan cara yang paling baik, sebab tindakan saling merendahkan
ini pun sebenarnya bagian dari kemungkaran yang harus dihilangkan dari diri
kita masing-masing.
Allah SWT juga melarang kita saling
menuduh dan memberi gelar atau panggilan yang buruk kepada sesama umat Islam.
Panggilan sebagai ahli bid’ah adalah panggilan yang teramat dahsyat. Seorang
muslim yang beriman kepada Allah dan berakhlaq kepada nabi-Nya, pasti akan
berpikir seribu kali sebelum menjatuhkan vonis seperti itu kepada saudaranya
sesama muslim.
Paling tidak dia harus melakukan tabayyun terlebih
dahulu, sebelum meluapkan kemarahannya dalam bentuk ejekan dan gelar-gelar yang
sangat menyakitkan hati. Bukankah Allah SWT mewajibkan seseorang melakukan
tabayyun sebelum mengambil sikap?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا
أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.(QS. Al-Hujurat: 6)
Boleh jadi apa yang dipahaminya
secara subjektif berbeda dengan yang dimaksud oleh saudaranya. Dan boleh jadi
setiap orang mengalami kondisi lingkungan sosial yang secara subjektif memang
beragam. Sebuah fatwa mungkin cocok diterapkan di suatu negeri, namun belum
tentu tepat untuk diterapkan di negeri lainnya.
Para ulama dan kaum muslimin
seharusnya memiliki kedewasaan dan hikmah yang luas dalam melihat masalah
seperti ini. Agar jangan sampai sangkaan buruk kepada sesama muslim
mengantarkannya kepada dosa yang lebih jauh. Bukankah kita diwajibkan untuk
berbaik sangka terlebih dahulu, ketimbang mendahulukan prasangka buruk?
Bukankah Allah SWT sudah menegaskan
dalam firman-Nya tentang arti penting berbaik sangka kepada sesama muslim?
يَا تَوَّابٌأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ رَّحِيمٌ
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.(QS.
Al-Hujurat: 12)
Bila kepada sesama muslim kita wajib
berhusnudz-dzan,
tentu seharusnya kepada para ulama yang selama ini terkenal memperjuangkan
Islam dengan gigih, kita harus lebih berhusnudz-dzan lagi. Bukan pada tempatnya
untuk terburu-buru menuding seseorang telah menyalahi sunnah rasulullah SAW,
atau melakukan kebatilan dan lainnya.
Apalagi sampai secara sengaja
mencari-cari kesalahan si fulan dan si fulan untuk sekedar dijelek-jelekkan dan
dipergunjingkan. Sungguh sebuah perbuatan yang tercela. Bahkan Allah SWT
mengumpamakan mereka yang melakukan perbuatan menjijikkan ini sebagai orang
yang tega memakan daging saudaranya sendiri.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Adapun perbedaan pendapat di level
para ulama, tentu tidak boleh dijadikan bahan untuk melakukan kekejian seperti
saling memaki, saling bergunjing, saling menjelek-jelekkan antar sesama muslim.
Sebab perbedaan pendapat itu sejak dahulu memang telah ada, bahkan di level
para salafus-shalih, termasuk para tabi’iin dan level parashahabat.
Janganlah kita berpikir bahwa sesama
para salafus-shalih tidak punya titik perbedaan. Bahkan di level para shahabat
sekalipun, tidak mustahil terjadi perbedaan pandangan. Kita mengenal Ibnu Umar
ra. dengan karakteristik yang kuat dan cenderung memilih hukum-hukum yang
terberat. Sementara kita mengenal Ibnu Abbas ra. yang lebih cenderung untuk
memudahkan agama, karena berprinsip bahwa agama itu dimudahkan oleh Allah SWT.
Bahkan para nabi dan rasul sekalipun,
beberapa kali tercatat pernah berbeda pendapat dalam menetapkan hukum dan
bersikap. Nabi Musa as pernah marah besar kepada saudaranya, Nabi Harun as.,
karena memandang saudaranya itu terlalu mengalah pada kedegilan kaum mereka.
Sampai-sampai beliau menarikjenggot saudaranya itu dengan kasar. Allah SWT
menceritakan hal itu di dalam Al-Quran:
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي
خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي
Harun
menjawab’ "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan
kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata: "Kamu telah
memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku."
Nabi Sulaiman as pun mengoreksi
pendapat Nabi Daud as. dalam masalah hukum yang dipertikaikan oleh rakyatnya.
Padahal keduanya sama-sama nabi dan sama-sama dapat wahyu, namun masih
dimungkinkan bagi keduanya untuk berbeda pendapat.
Bahkan malaikat yang tidak punya hawa
nafsu dan merupakan hamba-hamba Allah SWT yang mulia, ternyata pernah pula
tercatat berbeda pendapat dengan sesamanya. Salah satunya sebagaimana yang kita
dapat riwayatnya dalam kisah seorang yang pernah membunuh 100 nyawa tapi ingin
tobat. Dalam proses tobatnya itu, nyawanya dicabut. Malaikat Rahman ingin
memasukkannya ke surga, sementara malaikat azab ingin memasukkannya ke neraka.
Maka terjadilah perbedaan pendapat di level malaikat.Subhanallah!
Kalau para ulama berbeda pendapat,
para salafus-shalih juga seringberbeda pendapat, para atba’ut tabi’in pun tidak
ketinggalan berbeda pendapat, para tabi’in berbeda pendapat, para shahabat
berbeda pendapat, para nabi berbeda pendapat, bahkan para malaikat pun berbeda
pendapat, mengapa kita tidak bisa menerima kenyataan adanya perbedaan pendapat
di antara kita? Padahal apalah kedudukan kita dibandingkan mereka?
Mengapa kita mengharuskan semua
manusia hanya punya satu pendapat saja? Mengapa kita mengingkari sejarah Islam
yang telah melahirkan begitu banyak mazhab? Baik dalam dunia fiqih, ilmu
qiraat, ilmu hadits dan semua cabang ilmu lainnya.
Mengapa kita ingin memaksakan manusia
di dunia ini untuk berpegang pada satu pendapat saja? Padahal nash-nash syariah
yang kita punya memang memberi peluang kemungkinan perbedaan pendapat?
Mengapa kita terlalu mudah memaki
saudara kita yang kebetulan fatwanya tidak sama dengan fatwa yang kita pegang?
Mengapa harus kita maki sebagai tukang bid’ah, ahli syirik, ahlun-naar serta
beragam sumpah serapah lainnya?
Bagaimana mungkin kita melakukan
semua itu, sementara kita bukanlah nabi yang makshum dan terpelihara dari
kesalahan dan dosa?
Semoga Allah SWT meluluhkan hati kita
untuk dapat saling mencintai di bawah naungan kecintaan kepada-Nya. Semoga
Allah SWT meluaskan hati kita untuk dapat menerima perbedaan pendapat dalam
masalah khilafiyah, namun bukan untuk menjadi lawan, melainkan menjadi saudara
seiman. Amien Ya Rabbal ‘Alamin.
Wallahu
a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc