Bermadzhab, Untuk Apa?
Ketika kita membicarakan
madzhab-madzhab fiqih, sejatinya kita tidak hanya membicarakan Imam Abu Hanifah
sendiri, juga tidak Imam Mailk bin Anas sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah,
tidak juga membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja, dan bukan juga kita
membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab al-Hanabilah.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEkd1rU9qhhSkVzEKYgLHfHEQz-cC5mNxHE8jikN9K5hG7j_3CL0wnhaASFwLAAuZqN5Pa-l0yahfAYQv_BSx9IuNFqhjWjI6xOGUpLpzjm_IHnpXL_WNElOL6GIoBXeLJUXCa5OULnyU/s400/kaum-tanpa-madzhab.jpg)
Mereka yang bekerja untuk
istitusi madzhab bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi mereka
bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh lebih panjang dari sekdar tahunan.
Bukan hanya itu, pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya berhenti pada
satu masa; apa yang dikerjakan di masa sebelumnya terus dikaji dan
disempurnakna oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa selanjutnya.
Mereka inilah yang kemudian
mengkaji dan mendalami kaidah-kaidah ushul (induk) yang
telah dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta menjelaskan apa yang rancu
dari kaidah tersebut, mengoreksi, emanmbahkan serta memperbaiki apa yan
sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi. Kemudian memberikan sample-sample furu’ (cabang) dalam kktab-kitab
mereka, serta juga merumuskan kaidah ushul baru yang Imam
mereka belum merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah digariskan dalam madzhab
sang Imam.
Sampai kita melihat bahwa apa
yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam setiap madzhab
yang bekerja puluhan bahkan ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan
masalah yang kosong jawaban kecuali sudah disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan dengan masalah
yang muncul.
Itu dia kenapa dalam satu madzhab
kita menemukan adanya tingkatan-tingkatan ijtihad dan level ulama yang
berbeda-beda dengan kelas mereka masing-masing. Karena memang semua bekerja
dalam bidang dan keahlian masing-masing, guna saling melengkapi dan
menyempurnakan sebuah “jalan” (madzhab) bagi para awam untuk bisa memahami
syariah ini secara komprehensif. Di situlah fungsi madzhab.
Setiap madzhab punya level-level
dan tingkatan mujtahid yang berbeda dengan madzhab lain, hanya saja secara
global kita bisa mengklasifikasi dalam 2 level mujtahid;
[1] Mujtahid Muthlaq, dan
[2] mujtahid fi al-Madzhab.
Dari ulama-ulama pada 2 level ini
lah kemudian muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam
masing-masing madzhab, serta merumuskan beberapa kaidah ushul dan Fiqih-nya. seperti
kaidah ‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz,
Muta’awwil, Muhtamal, naskh mansukh.
Lebih rumit lagi istilah-istilah
dalam istinbath hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq, takhriij ushul ala
al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul dan lain-lain yang mana para
ulama madzhab tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan) untuk sebuah
“jalan” bersyariah.
Tingkatan-tingkatan
Mujtahid dalam Madzhab
1. Mujtahid Muthlaq
[1.1] Mujathid
Muthlaq Mustaqil
Beliau adalah 4 Imam yang
masyhur; Imam Abu Hanifah al-Bu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad binIdris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau-beliau adalah orang pertama
yang merumuskan dan menggariskan jalan madzhab serta memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk madzhab serta
sedikit mambahas masalah Furu’-nya.
[1.2] Mujtahid
Muthlaq Muntasib
Mereka yang ada dalam level ini
sejatinya orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai derajat Mujtahid
muthlaq setara dengan Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Hanya saja
mereka tidak menciptakan kaidah baru yang independen, akan tetapi mereka tetap
loyal kepada guru-guru mereka, yaitu para Imam yang empat.
Mereka berjalan sesuai dengan apa
yang sudah digariskan oleh guru-guru mereka, dan pekerjaan yang paling sangat
terlihat jelas hasilnya ialah mereka ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang
sudah digariskan oleh guru mereka karena mereka adalah orang-orang terdekat
sang Imam. Mereka yang menjadi penghubung antara kecerdasan sang Imam dan
keawaman umat Islam terhadap syariah.
Kadang mereka juga berbeda dalam
beberapa hal furu’iyyah dengan
guru-guru mereka, akan tetapi tetapi ber-intisab kepada madzhab
guru mereka. Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad al-Syaubani, contoh 2
mujtahid muntasib dari madzhab al-Hanafiyah. Imam Ibn al-Qasim serta Imam
Sahnun dari madzahb al-Malikiyah. Imam al-Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari
kalangan al-Syafi’iyyah.
2. Mujtahid fi al-Madzhab
[2.1] Mujtahid
Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh
Mereka adalah tingkatan ulama
yang hidup setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam sejarahnya, mereka inilah yang
membuat madzhab menjadi jauh lebih berkembang dan lebih dinamis dibanding
sebelumnya.
Mereka tidak membuat
kaidah-kaidah baru dalam madzhab, akan tetapi mereka melengkapi apa yang
terlewat dari ulama-ulama madzhab sebelumnya. Mereka menyimpulkan hukum
beberapa –bahkan banyak- hukum masalah furu’iyyah yang tidak
dijelaskan oleh sang Imam dan para murid serta sahabatnya, dengan menggunakan
dasar serkat kaidah induk yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya dalam
mdazhab tersebut, sambil meneliti dan menyempurnakn redaksi-redaksi kaidah yang
–sekiranya- tidak sempurna.
[2.2] Mujtahid
Tarjih
Mereka hidup berbarengan atau
setelah ulama mujtahid takhrij. Apa yang mereka
lakukan tidak kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya,
walaupun memang tingkatan keilmuan yang mereka miliki tidak seluas apa yang
dimiliki oleh ulama sebelumnya.
Bisa dikatakan mereka yang
membuat madzhab lebih sistemik dan mudah untuk diklasifikasi. Mereka melakukan
verifikasi dalam setiap hukum-hukum yang sudah disimpulkan oleh para
pendahulunya, jika memang itu ada 2 atau 3 atau bahkan lebih dalam satu masalah
yang sama. Dan adanya 2 sampai lebih pendapat dalam masalah yang sama di satu
madzhab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid tarjih-lah yang kemudian
mengklasifikasi mana yang sesuai dengan madzhab dan mana pendapat yang bukan
resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad personal salah satu ulamanya saja.
Mereka yang sering sekali
menyebut dalam kitab-kitab mereka setelah membandingkan 2 atau lebih pendapat
yang berseberangan dengan istilah; hadza
aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza ashahhu
riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza huwa
al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza huwa
azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat yang lebih sesuai
dengan qiyas).
Beberapa ulama memasukan
tingkatan ulama ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan ujtahid Mukharrij, melihat pekerjaan yang dilakukan
hampir sama, dan banyak ulama madzhab yang melakukan 2 pekerjaan ini. Akan
tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul-Fiqh menjelaskan
bahwa keduanya berbeda.
[2.3] Mujtahid
fatwa
Mereka adalah ulama-ulama yang
memang tidak sampai pada level mujtahid muthlaq, dan tidak juga setara dengan
mujtahid mukharrij atau mujtahid tarjih dalam madzhab. Akan tetapi mereka adalah seorang faqih yang mumpuni, royal
terhadap mafdzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap masalah dari
pendapat-pendapat madzhab tersebut.
Ima Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy wa al-Mustaftiy, menyebutkan
bahwa ulama level ini tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau juga
mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan ushul-fiqh madzhabnya.
Untuk Apa Ini Semua?
Lalu menjadi pertanyaan kemudian,
sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa harus ada banyak istilah rumit? Kenapa
harus banyak orang terlibat?
Jawabannya ialah untuk mengurangi
dan memperkecil kemungkinan salah dan keliru dalam memahami syariah serta
menyimpulan sebuah hokum dari teks-teks syariah. Karena semakin banyak orang
yang terlibat di dalamnya, semakin banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu
terus berulang di setiap generasinya.
Apa yang sudah ada di masa ulama
sebelumnya, deteliti oleh ulama sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang
masih rancu dan ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak
orang yang bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang
akan timbul.
Layaknya sebuah penemuan
teknologi, yang dari tahun ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke penemuan
yang lebih muthakhir dan yang terpenting ialah mempermudah pengguna serta
memberikan kenamanan, dan penting lagi yaitu memperkecil kemungkinan bahaya
yang muncul yang bisa saja melukai pengguna.
Jadi ini bukan masalah
mempersulit syariah, justru ini memudahkan kita untuk memahami syariah secara
komprehensif, dengan melihat kenyataan bahwa banyak dalil baik dari ayat atau
hadits yang nyatanya masing-masing bersinggungan dalam kandungan hukumnya.
Dan harus dicamkan baik-baik,
bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan
saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan
terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot
membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis
kitab syarah (penjelasan)
hadits kalau hanya bisa dipahami dengan terjemah?
Melihat kenyataan seperti itu,
lalu apakah masih kita akan mengatakan “kita
kembali ke al-Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab karena mereka
juga manusia yang bisa salah, dan perkataan mereka tidak bisa dijadikan dalil!” masih kah kita
berkata demikian?
Kalau madzhab bisa salah, apakah
kita terbebas dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal yang sempit ini?
Mana yang lebih mungkin salah,
pekerjaan yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang bekerja saling
melengkapi, atau mereka yang bekerja sendirian?
Mana yang lebih mungkin salah,
para ulama madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa Nabi atau kita yang
sudah terpisah ribuan tahun dari zaman Nabi?
Wajib kembali ke al-quran dan
sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin bisa memahami al-quran dan sunnah tanpa
peran sebuah madzhab fiqih!
Wallahu a’lam
by : Ahmad Zarkasih, Lc