Relativisme Kebenaran Dalam Fiqih
Ketika menyampaikan beberapa
pandangan yang berbeda dari kalangan madzhab-madzhab fiqih yang ada, satu
pertanyaan yang sering sekali muncul dari para pendengar atau pembaca ialah: “lalu yang benar yang mana?”.
Jawaban yang sering saya
sampaikan adalah: “semuanya benar! Sesuai
dari sisi mana kita melihatnya.” Tentu saja jawaban seperti ini
jelas tidak memuaskan pihak penanya. Tapi memang jawaban yang paling fair ya seperti itu.
Jawabannya tentu semuanya benar,
dan ini adalah jawaban yang benar untuk pertanyaan seperti itu. Ya! Semuanya
benar menurut empunya pandangan tersebut. Pandangan kalangan syafi’iyyah adalah
yang benar menurut ulama madzhab tersebut. Dan begitu juga bagi ulama madzhab
lain.
Ketika mengatakan bahwa pendapat
yang benar adalah pendapat A, itu berarti kita menyalahkan pendapat B, C, atau
mungkin juga pendapat D. loh bagaimana bisa seorang yang dengan kapasitas
keilmuan jauh di bawah para ulama tersebut menyalahkan para sang Imam? Tentu
tidak bisa seperti itu.
Yang harus diketahui bahwa dalam
masalah fiqih kebenaran -sepertinya- menjadi relatif, tergantun siapa yang
meng-instinbath-kan kebenaran tersebut. Terlebih ketika dalil yang ada itu
bersifat multi tafsir atau bersayap yang kemudian menjadikannya zdonniy al-Dilalah (Punya beberapa
kemungkinan) bukanqath’iy al-Dilalah (arti/petunjuk pasti yang tunggal), maka perbedaan sudah tidak
bisa dihindari lagi, karena memang ada peluang di situ.
Yang akhirnya membuat para imam Mujtahid itu ber-ijtihad, dan hasilnya pun tidak bisa kita harapkan sama.
Karena itu mujtahid A benar dengan ijtihadnya, karena memang analisis-nya
menuntun kepada pendapat A. begitu juga pendapat B. dari hasil ijtihad itulah
kemudian kebenaran menjadi relative dalam masa’il
fiqhiyah ini.
Kebenaran itu Satu atau
Berbilang?
Mungkin akan muncul pertanyaan
selanjutnya, “kalau begitu kebenaran
itu ganda, tidak tunggal?”. Ini pertanyaan yang memang sejak
dulu menjadi bahan diskusi oleh para ulama Ushul-Fiqh dalam kitab-kitab mereka.
Ulama ahl Sunnah wal-Jama’ah sepakat bahwa
kebenaran itu tunggal tidak berganda [wahid
wa Laa Yata’adad]. Namun pendapat ini diselisih oleh kalanganal-Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kebenaran
itu sifatnya berganda sesuai siapa yang meneliti kebenaran tersebut. Jadi
kebenaran –menurut mu’tazilah- sifatnya standar tergantung kepada standar
kebenaran siapa yang memakainya.
Pembahasan ini muncul terkait
dengan usaha seorang mujtahid dalam ijtihadnya, “apakah
semua mujtahid itu benar?”, kalau benar berarti kebenaran itu jumlahnya banyak
padahal dalam satu masalah. ini pendapat yang dipegang mu’tazilah dan juga beberapa kalangan Mutakalimun (ahli Kalam) dari kalangan ahl Sunnah wal-Jama’ah diantaranya
ialah Ubaidillah bin al-Hasan al-‘Anbari (168 H).
Sedangkan jumhur Ahl sunnah wal-Jama’ah mengatakan
bahwa kebenaran itu hanya satu di antara para mujtahid tersebut. Artinya dalam
ranah ijtihad yang digelar oleh para mujtahid tersebut, tidak mungkin semuanya
benar, akan tetapi yang benar itu hanya ada satu di antara merkea. karena tidak
mungkin kebenaran itu berbilang, ia hanya satu. Ini yang banyak dijelaskan oleh
para ulama ushul termasuk Imam
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudha al-Nadzir(2/351)
Pendapat ini berdasarkan dalil,
إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“jika seorang
hakim berijtihad kemudian ia benar dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan 2
pahala. Sedangkan mereka yang salah, mereka dapat satu pahala (ijtihad)”. (muttafaq ‘alaiyh)
Secara eksplisit hadits ini
menjelaskan bahwa mujtahid pun bisa salah, namun kesalahan yang dilakukan oleh
mujtahid tidak membuatnya berdosa, justru mereka mendapat pahala tersebut. Ini
adalah pendapat jumhur.
Kebenaran Tidak Berbilang, Tapi
Tidak Tertentu
Kemudian apa korelasinya, di awal
tertulis bahwa kebenaran dalam masail fiqhiyah itu relative,
tapi jumhur justru bilang kebenaran itu hanya satu, tidak pada semua mujtahid.
Bagaimana sinkronisasi masalah ini?
Ya. Kebenaran –dalam satu
masalah- itu hanya satu, tidak mungkin berbilang, karena secara akal pun itu
tidak bisa diterima. Bagaimana bisa satu masalah punya hukum lebih dari satu,
karena mujtahid A mengatakan itu haram sedang mujrahid B mengatakan itu Halal.
Jadi jawabannya adalah, kebenaran
itu hanya satu tidak berbilang, hanya saja kebenaran itu tidak tertentu [Laa Yata’yyan] di ijtihad siapa ia berada? Ini
yang dijelaskan oleh Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Imam al-Zarkasyi
dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith (8/283):
فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ
أَنَّ الْمُصِيبَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ، وَأَنَّ جَمِيعَهُمْ
مُخْطِئٌ إلَّا ذَلِكَ الْوَاحِدُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ.
“menurut Imam
al-Syafi’i yang benar itu hanya satu dari sekian banyak mujtahid akan tetapi
tidak tertentu (di ijtihas siapa), dan selain dari yang satu itu semuanya
salah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Malik juga selainnya.”
Jadi jelas bahwa kebenaran itu
hanya satu, tidak mungkin berbilang. Hanya saja kebenaran yang satu itu tidak
bisa terlihat, dan tidak tertentu pada ijtihad siapa. Karena memang seorang
mujtahid itu tugasnya berijtihad, nah dari masing-masing ijtihad tersebut tidak
bisa ditentukan kebenaran yang Allah inginkan itu ada di ijtihad siapa? Mereka
hanya menjalankan tugas ijtihad sebagai orang yang Allah swt berikan pemahaman
konprehensif terhadap al-Qur’an dan sunnah.
Ini juga sejalan dengan substansi
perkataan Imam Abu Hanifah, yang dikutip oleh Imam al-Bazdawi dalam kitabnya Kanzul-Wushul ila Ma’rifatil-Ushul (278):
كل مجتهد مصيب و الحق عند الله تعالى واحد
“semua mujtahid
itu benar akan tetapi kebanaran di sisi Allah itu hanya satu”.
Dijelaskan oleh Imam al-Bazdawi
bahwa maksud perkataan imam Abu Hanifah itu sama seperti substansi yang
dikatakan oleh Imam al-Syafi’i; kebenaran hanya satu yaitu di sisi Allah swt
dan di kalangan mujtahid itu tidak tertentu di ijtihad siapa kebenaran itu ada.
Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad.
Sedangkan perkataannya semua
mujtahid benar, maksudnya ialah mereka tidak berdosa jika hasil ijtihadnya itu
salah, karena memang yang diminta ialah menjalankan tugas ijtihad, dengan
begitu ia mendapat pahala atas ijtihadnya tersebut.
Jadi kebenaran itu satu hanya
saja tidak tertentu, atau dalam istilah yang ulama pakai adalah [الحق لا يتعدد ولا
يتعين]
“al-Haqq Laa Yata’addadu wa Laa Yata’ayyanu”.
Kalau Benar itu Pasti dari Allah!
Nah, karena memang para mujtahid itu
tidak tahu di mana kebenaran itu berada, apakah pada ijtihadnya atau pada
ijtihad selainnya, kebiasaan para mujtahid tersebut ialah menyatakan bahwa
ijtihadnya itu adalah apa yang telah mereka usahakan dan kalau benar itu adalah
dari Allah. Dan kalau salah itu adalah dari dirinya sendiri.
Kalimat yang masyhur seperti ini:
“ini adalah
pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka
itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari
(ijtihad)-ku ini.”
Sebagaimana dicontohkan oleh Amirul-Mukminin Sayyidina Umar bin Khaththab,
ketika katib (sekretaris) beliau menuliskan
fatwa yang beliau ijtihadkan bahwa itu adalah perkara yang Allah swt
perlihatkan untuk Umar, tapi beliau malah marah lalu mengatakan:
لاَ بَلْ اكْتُبْ هَذَا
مَا رَأَى عُمَرُ فَإِنْ كَانَ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ خَطَأً
فَمِنْ عُمَرَ
“tidak begitu! akan tetapi
tulislah ‘ini adalah pendapat Umar, kalau ini benar maka itu dari (anugerah)
Allah dan kalau salah maka itu dari Umar sendiri’.”(Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, Kitab Adab al-Qadha’ no. 20346 jil.
10 hal. 197)
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu’ sekali. Perkataan sahabat yang
seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H), dalam banyak
halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya
di Bab 10, hal. 450:
وقد قال أبو بكر وابن مسعود وغيرهما من الصحابة فيما يفتون فيه
باجتهادهم: إن يكن صوابا فمن الله وإن يكن خطأ فهو مني ومن الشيطان والله ورسوله
بريئان منه
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud
serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan:
ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau
salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya
terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak langsung mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”, Karena bisa
saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada
Allah dan Nabi saw.
Wallahu A’lam
Begitu juga apa yang kita temukan
dalam kitab-kitab fiqih ulama dari kalangan madzahib Fiqih. Dan yang paling
sering dikatakan atau ditulis ialah kalimatWallahu a’lam dalam setiap
menutup baba tau pembahasan suatu hukum masalah dalam kitab mereka.
Karena memang kalimat wallahu a’lam itu adalah bentuk penyerahan
kebanarana kepada Allah swt dan apa yang mereka ijtihadkan itu semua adalah
usaha mereka, kalau benar itu dari Allah dan kalau salah itu adalah hasil
kecerobohan mereka sendiri.
Jadi kalimat wallahu a’lam adalah bukan hanya sebagai
penghias akhir tulisan, akan tetapi di dalamnya terdapat nilai luhur ketawdhuan
seorang ulama yang tidak sombong akan kecerdasan yang dimilikinya. Sedemikain
cerdasnya beliau, beliau masih tetap mengakui kekurangannya yang bisa saja
salah, karena itu beliau serahkan itu semua kepada Allah swt.
Karena memang tidak ada ilmu yang
mereka miliki kecuali itu milik Allah swt.
by : Ahmad Zarkasih, Lc