Imam Abu Hasan Al Asy'ari
Abu Hasan Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912M dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah. Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya".
Dia cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti/mendukung pendapat/faham imam ini dinamakan kaum/pengikut "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.
Keluar dari Mu'tazilah
Sampai pada umur 40 tahun Al-Imam Al-Asy'ari menjadi Imamnya Mu'tazilah akhirnya Al-Imam Al-Asy'ari keluar dari Madzhab Mu'tazilah dikarenakan muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ayah tirinya yaitu Ali Al-Jubba'i.
Al-Imam Al-Asy'ari bertanya kepada Ali Al-Jubba'i bagaimana tanggapan ayah tentang tiga bersaudara ini?
Pertama: Orang yang mati dalam keadaan taat.
Kedua: Orang yang mati dalam keadan bermaksiat.
Ketiga: Anak kecil (belum baligh) yang sudah mati.
Ali Al-jubba'i menjawabnya : Orang yang pertama mati dalam keaadan taat masuk surga, sedangkan yang kedua masuk neraka karna bermaksiat dan yang ketiga anak yang mati masih kecil tidak masuk surga tidak pula neraka.
Timbul pertayaan lagi di benak Imam Asy'ari, jika orang yang mati dalam keadaan kecil kemudian dia menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku kenapa engkau tidak matikan saya dalam keadaan besar saja, maka aku akan selalu berbuat t'at kepadaMu, sehingga aku bisa masuk surga?".Al-Imam Al-Asy'ari bertanya kepada Ali Al-Jubba'i bagaimana tanggapan ayah tentang tiga bersaudara ini?
Pertama: Orang yang mati dalam keadaan taat.
Kedua: Orang yang mati dalam keadan bermaksiat.
Ketiga: Anak kecil (belum baligh) yang sudah mati.
Ali Al-jubba'i menjawabnya : Orang yang pertama mati dalam keaadan taat masuk surga, sedangkan yang kedua masuk neraka karna bermaksiat dan yang ketiga anak yang mati masih kecil tidak masuk surga tidak pula neraka.
Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Maka, Allah akan menjawab : "Sesungguhnya aku lebih mengetahui dari pada engkau, jika Aku besarkan engkau niscaya engkau akan bermaksiat sehingga engkau akan masuk neraka, maka alangkah baiknya Aku wafatkan dirimu dalam keadaan kecil".
Kemudian Al-Imam Al-Asy'ari bertaya lagi : "Jika orang yang kedua yaitu orang yang mati dalam keadaan bermaksiat, kemudian dia juga menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak matikan diriku dalam keadaan kecil saja, sehingga aku dan para Ahli Neraka tidak masuk Neraka".
Akhirnya Imam Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Wahai Asy'ari, kamu sudah menyalahi aturan Aqidah yang sudah ada".
Akhirnya Al-Imam Asy'ari keuar dari Madzhab Mu'tazilah yang katanya Madzhab Mu'tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal). Setelah perdebatan sudah tidak terpecahkan oleh ayah tirinya Ali Al-Jubba'i, pada waktu itu Al-Imam Asy'ari keluar menuju Menara Masjid Jami' Bashroh, kemudian naik ke Mimbar dengan suara yang sangat keras seraya berkata :
"Wahai para Manusia, barang siapa yang kenal padaku sungguh aku telah mengenalnya dan barang siapa yang tidak kenal kepadaku maka aku akan perkenalkan diriku siapa aku sebenarnya. Aku adalah Ali Bin Isma'il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallah Sollallahu Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy'ari, dan aku adalah orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah Makhluq dan Allah SWT tidak bisa dilihat di akhirat dengan suatu pandangan, begitupun seorang hamba yang menjadikan pekerjaannya dengan kehendaknya sendiri. Semua perkataanku ini aku cabut dan aku bertaubat dari Madzhab Mu'tazilah, dan aku telah membantah mereka (Mu'tazilah) dengan kejelekan-kejelekan mereka".
"Wahai para manusia, jika di antara kalian tidak ada yang hadir pada saat ini sungguh aku telah mempunyai Dalil yang mencukupi untuk bekal hidup. Dan aku tidak mengunggulkan sesuatu apapun dengan sesuatu yang lain. Dengan dalil ini Allah telah memberikan petunjuk kepadaku menuju Aqidah yang lurus. Dan sungguh aku telah mencabut semuanya yang dulu aku yakini Aqidah Mu'tazilah sebagaimana aku mencabut baju yang dipenuhi kotoran dan telah aku buang jauh-jauh baju itu, dan yang aku ikuti sekarang adalah Madzhab yang benar yang merupakan Madzhabnya para Fuqoha' dan Muhadditsin".
Ilustrasi: Abu Hasan Al Asy'ari |
Karya Tulis Beliau
Ia meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Kitabnya yang terkenal ada tiga :
- Maqalat al-Islamiyyin
- Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah
- Al-Luma
Kitab-kitab lainnya:
- Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān
- Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')
- Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān
- Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah
- Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
- Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām
- Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā
- Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām
- Kitāb al-Imāmah
- At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din
- Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-Tadhlil
- Al-'Amdu fi ar-Ru'yah
- Kitāb al-Maujiz
- Kitāb fi Khalqi al-A'māl
- Kitāb ash-Shifāt
- Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah
- An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i
- An-Naqdh 'ala al-Balkhi
- Jumal Maqālāt al-Mulhidin
- Kitāb fi ash-Shifāt
- Adab al-Jidal
- Al-Funan fi ar-Raddhi 'ala al-Mulhidin
- An-Nawādir fi Daqaiqi al-Kalām
- Jawāz Ru'yat Allah bil Abshār
- Risālah ila Ahli Ats-Tsughar]