Kalau Ada Pertanyaan 'Mana Dalil?'
Ahmad Zarkasih, Lc Thu 28 January 2016 06:01
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ibadah dan
kehidupan muslim nantinya jika semua orang selalu diminta “mana dalilnya?” dalam setiap pekerjaan mereka.
Ini fenomena beragama yang ‘aneh’, selalu meminta dalil dan dalil yang dimaksud
adalah ayat Qur’an atau juga hadits Nabi s.a.w.
Kalau Semua Harus Tahu Dalil ...
Kaum Tanpa Madzhab, sering bertanya "Mana Dalilnya?" |
Lebih lagi, jika semua harus tahu
dalil, karena beranggapan bahwa semua ibadah itu harus tahu dalilnya, bagaimana
dan siapa yang akhirnya menunjang dan menaga keseimbangan hidup ini? siapa yang
akhirnya menjadi arsitek, menata gedung dan kota jika semuanya sibuk belajar
ayat dan hadits? Dan siapa yang mau jadi dokter untuk mengobati pelajar yang
belajar ayat dan hadits itu sakit? Lalu siapa pula yang mengurusi administrasi
kependudukan mereka jika semua PNS sibuk menghafal dalil? Siapa yang menjaga
kemanaan jika aparat militer negara mangkir dari latihan karena harus menghafal
dalil ibadah mereka?
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ
أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Ali Imron 104)
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“ tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (at-Taubah 122)
Distribusi Tugas Dalam Islam
2 ayat di atas –dan masih banyak
ayat lainnya- sudah cukup menjadi bukti, walaupun sejatinya argumen logika
sebelum 2 ayat di atas sudah cukup menjadi bukti bahwa memang dalam Islam ini
ada yang disebut dengan “Distribusi pekerjaan”. Setiap orang bekerja sesuai
bidangnya, dan semua harus berimbang. Tidak semua menjadi “ustadz”, juga tidak
semua menjadi “dokter”. Harus ada pembagian pekerjaan agar seimbang hidup ini.
nah, agar begitu kuat, saya tambahkan 2 ayat agar memang para “pencari dalil”
itu yakin bahwa dalam Islam tidak semua harus jadi ahli agama. Dalam
artian, tidak semua harus tahu dalil.
Lihat ayat di atas, perintah
untuk mendalami agama itu ditujukan untuk “sebagian” dari umat ini. tidak
semuanya. Semua memang harus tahu kewajibannya dalam agama, akan tetapi
kewajiban yang sifatnya umum. Dalam hal mendetail, mengerti dalil, paham ayat
serta mampu meneliti hadits itu bukan pekerjaan semua muslim. Itu hanya
beberapa orang saja, yang memang sudah mengkhususkan dirinya untuk jadi seorang
penyuluh agama yang baik.
Dalil Bagi Awam itu ...
Sejak dulu, mestinya para sahabat
yang mulia, yang mereka bertemu langsung dengan sumber syariah; Nabi s.a.w.,
mestinya mereka itu ketika ditanya oleh awam sahabat, mereka sertakan juga
dengan: “ini dalilnya, dan hafalkan!”.Tapi nyatanya
kita tidak mendapati itu. Mereka menjawab dan banyak dari mereka hanya menjawab
tanpa adanya ayat atau juga hadits. Begitu
juga yang dilakukan oleh ulama-ulama masa selanjutnya; Tabi;in juga Tabi’u al-Tabi’in. Karena mereka
tahu, paham serta mengerti, bahwa bukan kewajiban awam untuk tahu dalil; karena
tahu atau tidak tahunya awam terhadap dalil itu sama saja tidak berguna.
فتاوى المجتهدين
بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
Fatwa-fatwa
ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid.
(Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).
Itu kata Imam al-Syatibiy, dan
kemudian beliau meneruskan:
والدليل عليه أن وجود
الأدلة بالنسبة إلى المقلدين وعدمها سواء؛ إذ كانوا لا يستفيدون منها شيئا؛ فليس
النظر في الأدلة والاستنباط من شأنهم، ولا يجوز ذلك لهم ألبتة
Dasarnya adalah
ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka
belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil
syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan
itu. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337)
Memberikan dalil kepada orang
awam itu seperti memberikan material bahan bangunan kepada guru matematika. Ia
tidak mengerti bagaimana memanfaatkan bahan dan material tersebut, kalaupun
dipaksanakan, bukan bangunan yang berdiri akhirnya, tapi bisa jadi hanya
tumpukan bata tak bertata. Karena memang yang mengerti bagaimana bahan bangunan
itu diolah adalah tukang bangunan itu sendiri. Bahan dan material bangunan itu
bahan mnetah, yang hanya bisa dimatangkan oleh yang ahlinya.
Begitu juga ayat dan hadits,
kedua sumber mulia itu adalah bahan mentah yang belum matang, dan sama sekali
itu tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi awam. Ia bisa berguna dan
bermanfaat jika memang berada di tangan ahlinya; para ahli fiqih. Karena memang
memgolah ayat dan hadits sampai akhirnya kemudian menjadi sebuah produk hukum
itu ada seni dan kehalian khusus yang tidak semua bisa menguasai itu jika hanya
bermodal sedikit bahasa arab dan ikut pengajian mingguan.
Maka pertanyaan “mana dalilnya?” yang ditujukan kepada awam
pertanyaan yang salah sasaran dan keliru, karena awam tidak butuh dalil ayat
dan hadits. Mereka itu hanya butuh hukum yang mereka akses dari gurunya, yang
mana gurunya itu juga mengakses dari gurunya, hingga sampai rantai akses itu
kepada imam madzhab juga sampai kepada Rasululullah s.a.w..
Jadi tepatnya adalah; “siapa gurumu yang mengajari itu?”. Kalau
jawabannya “Rasul!”, itu juga
keliru. Karena yang namanya berguru itu bertemu, apakah ia bertemu dengan Rasul
s.a.w. sehingga yakin bahwa jawabannya itu memang benar jawaban dari rasul?
Wallahu
a’lam.